Dibalik kegembiraan dan kebanggaan saya tersebut, dalam lubuk hati saya ada tanda Tanya besar akan menjamurnya pembangunan tempat suci pura sekarang ini. Sebagai contoh Seingat saya untuk di Daerah Jembrana kalau dirunut dari timur ke Barat, saya mengenal yang namanya pura luhur Rambut Siwi peninggalan Dhangyang Nirartha dengan status Dhang Kayangan, Kemudian di Pura Gede Perancak dengan status Dhang Kayangan. Anehnya sekarang ini disekitar Pura Luhur Rambut Siwi/Dhang Kayangan Rambut Siwi banyak berdiri bangunan pura yang piodalannya dilaksanakan secara bersamaan yaitu pada Angar Kasih Perangbakat. Ada Pura Taman, Pura Penataran, Pura Gowa, Pura Tirta,Pura Melanting, Pura Dalem Ped, dan Pura Gading Wani, yang entah bagaimana prosesnya selanjutnya menjadi satu kesatuan sehingga apabila piodalan masyarakat sudah digiring untuk bersembahyang dari pura A sampai dengan z sebagaimana pura-pura yang saya sebutkan tadi yang keberadaannya disekitar pura Luhur Rambut Siwi.
Menurut cerita orang-orang yang pernah saya dengarkan terhadap berdirinya suatu” Pura” (baca Pura dalam tanda kutif) dan kalau cerita-cerita tersebut dirangkum maka dapat disimpulkan secara umum bahwa sebelum menjadi sebuah pura, tempat tersebut diyakini dan dipercaya sebagai tempat yang mempunyai aura atau vibrasi yang bagus bagi para penekun spiritual. Dari para penekun Spiritual ini , dalam semadinya sering didapatkan penampakan tokoh –tokoh tertentu atau dewa-dewi dan juga yang biasa dikenal sebagai ancangan. Bahkan tidak hanya sekedar penampakan, diantara penekun spiritual tersebut ada yang mengalami kerauhan/kesurupan dan ada juga yang sampai dianugrahi benda-benda pusaka dan bertuah. Dari mereka ini tersebar informasi kepada orang-orang yang sedang mencari atau menginginkan kedudukan atau jabatan yang lebih tinggi dari yang sudah didapatkannya dengan harapan semakin terhormat dan rejekinya semakin bertambah. Orang-orang seperti ini sering dikabulkan permohonannya dan dianugrahi benda-benda bertuah yang membuat keyakinan mereka akan tempat tersebut dan yang melinggih (penghuni niskala) tempat semakin menguat sehingga dengan rejeki yang didapatkannya mereka membangun tempat tersebut menjadi sebuah tempat suci untuk memuja Ida Sanghyang Widhi dan Roh yang diyakini berstana dan berkuasa ditempat tersebut. Bangunan tersebut rata-rata megah dan akhirnya berkembang menjadi tempat persembahyangan umum.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa sebenarnya yang disembah disana ? Tuhan-kah atau Dewa-dewi-kah atau wong samar ? yang mengaku-ngaku sebagai Dewa- Dewi ?
Menurut ajaran agama kedudukan Wong Samar/Jin mahluk ciptaan Tuhan yang kedudukannya dibawah manusia. Tanpa disadari kita sebagai manusia telah memposisikan Wong Samar/Jin/Mahluk Halus itu lebih tinggi dari manusia yaitu setingkat dibawah Dewa dengan menyembah-nyembah mereka seperti menyembah Ida Sanghyang Widhi Wasa, Dewa/Betara, Leluhur. Tanpa disadari kita telah mendewa-dewakan Wong Samar/Jin/Mahluk Halus. Bangunan yang dibuatkan untuk Wong Samar/Jin/Mahluk Halus juga sama persis dengan bangunan yang diperuntukan untuk Ida Sanghyang Widhi/Dewa, Betara/Leluhur. Tidakah hal ini menimbulkan ketersinggungan sehingga Ida Sanghyang Widhi, Dewa, Betara/Leluhur semakin menjauh dari manusia.
Selama ini kita tidak pernah sadar dan tidak menyadari apa yang selama ini diperbuat telah mencampur adukkan sebuah tatanan/sebuah aturan/sebuah ajaran yang berhubungan dengan sang khalik.
Menurut cerita orang-orang yang pernah saya dengarkan terhadap berdirinya suatu” Pura” (baca Pura dalam tanda kutif) dan kalau cerita-cerita tersebut dirangkum maka dapat disimpulkan secara umum bahwa sebelum menjadi sebuah pura, tempat tersebut diyakini dan dipercaya sebagai tempat yang mempunyai aura atau vibrasi yang bagus bagi para penekun spiritual. Dari para penekun Spiritual ini , dalam semadinya sering didapatkan penampakan tokoh –tokoh tertentu atau dewa-dewi dan juga yang biasa dikenal sebagai ancangan. Bahkan tidak hanya sekedar penampakan, diantara penekun spiritual tersebut ada yang mengalami kerauhan/kesurupan dan ada juga yang sampai dianugrahi benda-benda pusaka dan bertuah. Dari mereka ini tersebar informasi kepada orang-orang yang sedang mencari atau menginginkan kedudukan atau jabatan yang lebih tinggi dari yang sudah didapatkannya dengan harapan semakin terhormat dan rejekinya semakin bertambah. Orang-orang seperti ini sering dikabulkan permohonannya dan dianugrahi benda-benda bertuah yang membuat keyakinan mereka akan tempat tersebut dan yang melinggih (penghuni niskala) tempat semakin menguat sehingga dengan rejeki yang didapatkannya mereka membangun tempat tersebut menjadi sebuah tempat suci untuk memuja Ida Sanghyang Widhi dan Roh yang diyakini berstana dan berkuasa ditempat tersebut. Bangunan tersebut rata-rata megah dan akhirnya berkembang menjadi tempat persembahyangan umum.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa sebenarnya yang disembah disana ? Tuhan-kah atau Dewa-dewi-kah atau wong samar ? yang mengaku-ngaku sebagai Dewa- Dewi ?
Menurut ajaran agama kedudukan Wong Samar/Jin mahluk ciptaan Tuhan yang kedudukannya dibawah manusia. Tanpa disadari kita sebagai manusia telah memposisikan Wong Samar/Jin/Mahluk Halus itu lebih tinggi dari manusia yaitu setingkat dibawah Dewa dengan menyembah-nyembah mereka seperti menyembah Ida Sanghyang Widhi Wasa, Dewa/Betara, Leluhur. Tanpa disadari kita telah mendewa-dewakan Wong Samar/Jin/Mahluk Halus. Bangunan yang dibuatkan untuk Wong Samar/Jin/Mahluk Halus juga sama persis dengan bangunan yang diperuntukan untuk Ida Sanghyang Widhi/Dewa, Betara/Leluhur. Tidakah hal ini menimbulkan ketersinggungan sehingga Ida Sanghyang Widhi, Dewa, Betara/Leluhur semakin menjauh dari manusia.
Selama ini kita tidak pernah sadar dan tidak menyadari apa yang selama ini diperbuat telah mencampur adukkan sebuah tatanan/sebuah aturan/sebuah ajaran yang berhubungan dengan sang khalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar