12 Maret 2011

NYEPI dulu dan sekarang



Hari Raya Nyepi, atau disebut Nyepi Adalah  sesuatu ritual Hindu yang unik yang dulunya hanya dikenal dan dilakukan masyarakat Hindu  di pulau Bali yakni dirayakannya 1 hari dalam 1 tahun .  Ini adalah peristiwa yang sangat menarik, dimana dalam satu hari itu tidak adanya aktivitas sama sekali (sepi): Anda tidak akan diperkenankan menyalakan api, bepergian, menikmati liburan dan melakukan aktifitas. Yang semuanya ini disebut dgn Catur Bratha (Amati Gni, Amati Lelungan, Amati Lelaguan, Amati karya).
Tapi  Nyepi  bagi masyarakat Indonesia maupun dunia sekarang ini bukanlah suatu yang asing lagi. Semua orang sudah tahu Prosesi Hari Raya Nyepi. Bahkan dalam issue Global Warning sekarang ini para aktifis NGO (Non Government Organisation)/LSM dunia hendak mengadopsi perayaan Nyepi sebagai suatu upaya untuk mengingatkan umat manusia untuk turut berperan aktif dalam mengurangi dampak global warning sebut saja himbauan untuk mematikan lampu/listrik selama 1 jam. Cuma baru 1 jam tetapi umat Hindu khususnya di Bali sudah mematikan lampu/listrik  dalam perayaan Nyepi sudah 24 jam.
Nyepi sekarang ini bukan hanya milik orang Hindu di Bali saja.  Umat Hindu di Nusantara juga merayakan Nyepi meskipun pelaksanaannya tidak se-ekstrim di Bali. Mungkin bagi umat Hindu yang tinggalnya dalam satu Komplek masih bisa melaksanakan nyepi seperti di Bali sedangkan yang tinggalnya menyebar biasanya mereka melakukan brata penyepian di Pura. Catur brata penyepian di lingkungan pura  dan  di rumah pribadi umat hindu tetap dilaksanakan meskipun lingkungan sekitarnya masih penuh hiruk pikuk dan terang benderang oleh cahaya lampu/listrik.
Bagi masyarakat dunia yang masih asing dengan Nyepi tentunya bertanya-tanya, Apa sih Sebenarnya Perayaan Hari Raya Nyepi ?
Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada tanggal 1 sasih Kedasa. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.

Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia / microcosmos) dan Buwana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu diantaranya :
1.   Melasti/Melis/Mekiyis.
Kegiatan Melasti atau Mekiyis biasanya dilakukan tiga atau dua hari sebelum Nyepi,  Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan utamanya Pratima atau pralingga Ida Betara yang ada di Pura (Pura Khayangan Tiga ; Pura Desa, Puseh dan Pura Dalem) dan Pura-Pura Swagina (Pura yang disungsung oleh umat Hindu berdasarkan Profesi yang sama) di punut/ di sunggi  ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air yang di suci-kan  (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di semesta alam beserta isinya.
Kegiatan melasti dulunya diikuti oleh sebagian besar umat dengan berjalan kaki. Disepanjang jalan yang dilalui umat biasanya menghaturkan upakara/banten yang dihaturkan kepada Pralingga Ida Batara yang lewat sedangkan kepada para pengiring (umat), masyarakat disepanjang jalan menyiapkan air minum (ada yang tawar dan ada pula yang manis bagi yang memiliki gula) bahkan ada buah-buahan yang dimilikinya dengan tulus iklas. Mengingat-ngingat kejadian saat itu membuat saya terharu. Ini adalah warisan leluhur yang luar biasa. Kepedulian,  Empati dan simpati yang ditunjukkan masyarakat semestinya harus dilestarikan.  Tidak seperti sekarang. Untuk ikut ngiring Pralingga Ida Batara saja sudah ogah. Umat sudah sebagian besar mengikuti prosesi langsung melasti di pantai/danau dengan berkendaraan. Disepanjang jalanpun sudah jarang-jarang orang kelihatan ngaturang banten maupun menyediakan minuman apalagi buah-buahan. Sudah tidak ada lagi kepedulian dan keiklasan. Semua sekarang ini sudah dinilai dengan materi.
Mengapa bisa  terjadi…?
Pengamatan saya menyimpulkan ada beberapa hal jadi penyebabnya diantaranya :
1.       Perkembangan jaman dan teknologi telah mengibah prilaku masyarakat Bali menjadi masyarakat individualis yang cendrung egois dan materialis. Semua dihitung dengan materi tidak ada keiklasan.
2.       Penilaian yang agak ekstrim adalah umat sekarang mulai malas jalan kaki (karena sudah terbiasa naik kuda Jepang). Ngiring pralingga melasti  sudah bukan ukuran subakti kepada Ida Betara. Subakti kepada Ida Batara sudah bergeser ke ngaturang bakti di segara saja. Proses untuk sampai di pantai bukanlah menjadi tujuan, yang jadi tujuan adalah persembahyangan di Pantai.
3.       Umat sekarang ini sudah pada sibuk, waktu adalah uang semua diukur dengan materi. Kalau kita perhatikan prosesi melastin sudah dimulai pagi hari pukul 06.00, sekitar jam 09.00 atau 10.00 Wita arak-arakan ngiring Ida Betara sudah sampai di Pantai.  persembahyangan di Segara baru terlaksana setelah jam 13.00 Wita. Ada waktu kurang lebih 3-4 jam umat bengong di pantai tempat melasti,  yang mana disekitar pemelastian juga sudah disiapkan para pedagang makanan dan minuman  bahkan mainan oleh panitia. Umumnya pedagang-pedagang tersebut adalah saudara kita dari seberang. Ada kesan prosesi persembahyangan sengaja diulur-ulur agar para pedagang yang sudah bayar retribusi jualan dan sewa lolasi ke panitia dapat jualan (ada apa ini..?)
2.   Pecaruan
Pecaruan dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9). Umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat,mulai dari yang terkecil yaitu di masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, Kabupaten dan Propinsi, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Tingkatan upakara Buta Yadnya ini masing-masing bernama Eka Sata (paling kecil), Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala menjadi Buta Hita, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Tujuan dari pelaksanaan caru ini adalah untuk mengharmoniskan kembali alam semesta beserta isinya sehingga bernuansa baru lagi.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Prosesi pecaruan/tahur ke sanga ini biasanya mengambil tempat  di depan pekarangan , perempatan jalan, alun-alun maupun lapangan.
Setelah melakukan pecaruan, sore hari saat sandya kala ditiap tiap keluarga melaksanakan ritual pengerupukan yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu (meriam bamboo), serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Sejak Tahun 70-an masehi pada saat ritual pengerupukan diikuti dengan sarana mengarak ogoh-ogoh (boneka raksasa berwujud buta kala/raksasa) keliling desa/banjar. Sehabis mengarak ogoh-ogoh, ogoh-ogoh yang merupakan simbolik buta kala itu  disomia/dibakar di kuburan atau tanah lapang.
Ada yang menarik menjadi catatan saya bahwa sekarang ini. Tradisi mengarak ogoh-ogoh lebih ditonjolkan dari pada ritual pecaruan dan pengerupukan. Ogoh-ogoh yang sebenarnya hanya merupakan bentuk kreatifitas pada pemuda telah menenggelamkan hakekat dari pecaruan dan pengerupukan itu sendiri. Ogoh-ogoh itu seolah-olah harus ada padahal sujatinya ritual pecaruan dan pengerupukan itu tidak memerlukan sarana berupa ogoh-ogoh.  Tapi itulah yang terjadi sekarang ini hanya demi pariwisata budaya (katanya), para pimpinan kita, tokoh-tokoh agama dan adat seakan tidak menyadari pergeseran ini dan mereka semua diam.
Jauh-jauh hari sebelum saat pengerupukan ini banyak kelompok anak-anak dan remaja  membuat ogoh-ogoh. Kelompok-kelompok ini mengajukan proposal bantuan dana kepada masyarakat sekitar (tanpa melihat agama mereka) dalam menghimpun dana pembuatan ogoh-ogoh yang biayanya tidak sedikit (dari jutaan sampai puluhan juta). Yang membuat miris hati saya sekarang ini bahwa disetiap pembuatan ogoh-ogoh cenderung ada aktivitas tambahan yaitu minum-minuman beralkohol alias mabuk-mabukan dengan dentuman music yang memekakkan telinga. Niatnya akan nyomia buta kala tapi kok malah kerangsukan buta kala ?
Demi sebuah pariwisata, kreatifitas arak-arakan ogoh-ogoh sekarang ini sudah diparadekan dan bahkan ada yang dilombakan. Entah disadari atau tidak apa yang dilakukan ini sebenarnya sedikit-demi sedikit telah mengarahkan anak-cucu kita untuk melupakan tradisi pengerupukan. Bagaimana tidak lupa orang dari siang hari umat kita sudah disibukkan dengan mempersiapkan diri untuk mengarak ogoh-ogoh dan juga untuk menontonnya. Terus siapa nanti yang   melakukan ritual pengerupukan…sementara kita semua sibuk mempersiapkan parade ogoh-ogoh ………???

3.   Nyepi
Tepatnya pada tanggal 1 sasih kedasa (bulan ke-10)  tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yaitu :
Amati Geni : tidak menyalakan api secara lahir (tidak merokok, tidak menyalakan kompor, tidak menyalakan lampu, dll) dan secara batin dimaksudkan untuk mengekang dan mengendalikan diri dari hal-hal yang bersifat negatif seperti mematikan api amarah dan api asmara.
Amati Karya yaitu tidak bekerja secara lahir dan secara batin menghentikan kegiatan jasmani dengan merenung/mawas diri.
Amati Lelungan yaitu tidak bepergian karena semua orang melakukan Tapa Brata Penyepian dan seyogyanya kita tidak menganggu ketenangan orang lain.
Amati Lelanguan yaitu tidak mengadakan hiburan/rekreasi dan bersenang-senang.Semua umat Hindu harus merenung dan mawas diri

Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan semadhi. Dalam situasi seperti ini diharapkan umat Hindu bias melakukan mulat sarira/introspeksi diri sehingga kedepannya bisa berbuat lebih baik sebagaimana diamanatkan dalam ajaran agama Hindu.
Begitu luhur ajaran yang diwariskan kepada kita yang sudah semestinya harus kita lestarikan.
untuk memulai tahun baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.

Tapi apa yang terjadi sekarang ini. Nyepi sekarang ini   bukanlah melaksanakan Catur Brata Penyepian (empat larangan saat Nyepi) melainkan liburan dirumah. Jujur kita akui dan lihat umat kita memang tidak  memasak dengan kompor tetapi dengan race cooker, tidak bepergian dengan berkendaraan motor tapi jalan kaki atau naik sepeda gayung, tidak nonton TV/mendengarkan radio tapi main game atau kartu dan tidak bekerja dikantor.

Dulu umat kita kalau liat pecalang atau ada pecalang lewat, yang semula ngomongnya agak keras menjadi melemah dan diam bahkan  sembunyi ke dalam rumah tapi sekarang malah terbalik yaitu dengan membiarkan bahkan ngajak anak-anak ke jalan duduk-duduk dipinggir jalan bahkan ada yang main bola dsb. Dulu orang nyuri-nyuri nyalakan lampu tapi sekarang ….akh seakan cuek bebek hingga ditegor langsung aparat atau  pecalang. Terus kalau begitu buat apa diadakan tugas jaga oleh pecalang dan prajuru banjar/desa…? Umat kita seakan sudah tidak bisa menghargai dirinya sendiri. Tidak hanya anak-anak saja, malah orang tua sekarang tidak bisa memberi contoh yang baik. Bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian kalau sudah begini….?!!

4.   Ngembak
Ini merupakan akhir dari pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang jatuh pada tanggal 2 sasih kedasa (bulan ke-10) yang dilanjutkan dengan pelaksanaan Dharma Santi serta saling mengunjungi antar umat untuk saling memaafkan sehingga umat bisa memulai tahun baru Caka dengan hal-hal baru yang positif. Biasanya umat juga memanfaatkan hari ini untuk mengunjungi tempat-tempat wisata sehingga hati menjadi gembira dengan pengharapan agar di tahun yang baru keadaan lebih mengembirakan.


Demikianlah sesungguhnya rangkaian pelaksanaan hari Raya Nyepi, Apa yang menjadi catatan penulis adalah bersifat subyektif yaitu apa yang penulis lihat disekeliling penulis. Sekiranya ditempat lain pelaksanaan Catur Brata Penyepian sudah baik kami merasa bersyukur dan berharap menjadi contoh buat kami yang masih kurang baik. mudah-mudahan saja sisi negative yang saya lihat hanya terjadi dilingkungan sekitar saya saja. Namaste.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ya...saya juga merasakan bahwa Nyepi yang dulunya terasa sekali ke-sakralannya, sekarang ini terasa hambar karena sudah dianggap sebagai rutinitas belaka. Kadang saya heran kok malah sekarang ini banyak orang-orang tua kita yang tidak bisa memberi contoh bagaimana semestinya merayakan Hari Raya Nyepi. malah sepertinya larut dengan kegiatan yang sudah mulai keluar dari rel agama Hindu. Bagaimana nich ....???