17 April 2013

BAGAIMANA UMAT HINDU MENGHAYATI TUHANNYA

Betulkah Umat Hindu Memuja Tuhan Yang Esa?
Betulkah umat Hindu hanya memuja Tuhan Yang Maha Esa? Kalau betul, mengapa mereka menghormati banyak dewa? Apakah umat Hindu juga memuja berhala? Kalau tidak, mengapa mereka menggunakan patung-patung dan berbagai jenis sajen? Apakah Tuhan yang dipuja umat Hindu bisa makan seperti manusia, sehingga umatNya perlu mempersembahkan nasi dan buah-buahan? Mengapa Hindu di India berbeda dengan Hindu di Bali, Jawa dan daerah lainnya? Apakah ajaran Hindu boleh diubah semau-maunya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu acapkali muncul dalam berbagai kesempatan. Seperti peluru yang muntah dari moncong senapan mesin, pertanyaan itu membuat telinga menjadi merah, hati menjadi terluka, dan sakit sekali rasanya. Tapi, salahkah mereka melontarkan pertanyaan semacam itu? Tidak! Pertanyaan itu Bapakat wajar dan seringkali terlontar spontan dari beberapa orang yang memang tidak paham inti ajaran Hindu. Bahkan juga oleh sebagian umat Hindu yang lugu, yang selama ini belum mendapatkan penjelasan atau bacaan agama yang benar, dikarenakan kurangnya bahan-bahan tertulis berupa buku agama. Sebagaimana dimaklumi bersama buku-buku tentang ajaran Hindu masih kurang banyak dan kurang menjangkau umat yang berada di pedesaan.


Jika saja kita mau jujur dan terbuka, sebagian umat Hindu, lebih-lebih yang tidak sempat mengenyam pendidikan sekolah, tidak punya jawaban yang memuaskan atas pertanyaan yang menohok tadi. Penyebabnya, selain terbatasnya buku-buku agama Hindu, mereka kurang mampu mengupas, mengkaji, menganalisa cara penghayatan warisan dari nenek moyang. Cara penghayatan yang kaya dengan aneka simbul dan kias, terbungkus rapi oleh semarak dan kemegahan seni budaya yang indah mempesona menyilaukan mata, hingga inti hakekatnya tidak nampak seketika.
Narnun kita patut bersyukur. Sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) belakangan ini membangkitkan semangat generasi muda Hindu untuk menguak, meneliti, mempelajari, menganalisis, lalu mengoreksi bahkan melontarkan otokritik apa yang telah diadatkan dan ditradisikan oleh nenek moyang mereka. Ajaran yang gugon tuwon atau percaya secara membabi buta Bapakat tabu bagi para cendekiawan Hindu yang kini bangkit. Mereka merindukan jawaban, bukan saja mengenai adat istiadat, tetapi juga mengenai agarna yang mereka anut. Mereka menghendaki jawaban yang logis atau istilah kerennya berkadar ôilmiahِ agar memuaskan, sekaligus sebagai bekal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat lain yang ingin mengetahui ajaran Hindu.
Adalah dampak Iptek pula yang menyebabkan pemuda-pemuda, cendekiawan Hindu, tidak cukup puas dengan upacara ritual tradisional yang dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan tidak melepaskan kebersamaan atau sifat komunal, mereka ingin menghayati Tuhan sendiri-sendiri, tidak cukup dengan sembahyang pada waktu-waktu piodalan dan hari-hari suci di pura saja. Tapi jauh lebih dari itu. Mereka memerlukan waktu yang lebih sering untuk merenungkan hakekat Tuhan, tidak hanya di pura saja. Namun sentuhan Iptek juga dapat mengancam sifat kebersamaan untuk menjadi individual, padahal kebersamaan itu Bapakat perlu dipertahankan sebagai budaya bangsa yang adiluhung. Sebab, sembahyang di pura, bukan hanya persoalan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga menyangkut sosial, manusia dengan sesama. Karena itulah yang kita butuhkan adalah keseimbangan. Tidak mentah-mentah menolak Iptek, tapi tidak bersikap apriori terhadap semua yang berbau tradisi dan upacara. Apalagi tradisi yang kita warisi banyak yang patut dipertahankan karena terbukti Bapakat menguntungkan dalam kehidupan beragama dan Bapakat membantu kita dalam menghayati hakikat Tuhan.

Nama Banyak tapi Esa
Kita tahu, ada berjenis-jenis pura dengan nama dan fungsi berbeda di Indonesia. Lebih-lebih di Pulau Bali yang dijuluki Pulau Kahyangan ini yang kaya dengan simbul-simbul serta penghayatan yang khas. Tuhan dipersonifikasikan dengan sifat dan kekuasaan yang berbeda-beda.
Demikianlah, di Pura Besakih umat Hindu memuja Dewa Siwa dengan segala manifestasinya, memohon keselamatan lahir batin. Di Pura Batur umat memuja Dewa Wisnu dengan sakti-nya Dewi Danu (Dewi Sri), memohon kemakmuran. Banyak lagi kahyangan dan dang kahyangan sebagai tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya yang berbeda-beda.
Di dalam kitab suci Hindu, Weda, dijumpai ratusan nama dewa-dewa dengan kekuasaan dan fungsinya yang berbeda-beda. Dalam Weda, Tuhan memang dijuluki ô sehasraِ yaitu seribu nama. Ketika bertrisandhya, yakni memuja Tuhan setiap pagi, siang dan petang hari, kita mengucapkan mantram yang menyebutkan nama dewa itu banyak. Perhatikan kutipan bait kedua dan ketiga dalam mantram Trisandhya sebagai berikut:
OM Nسrسyanah evedam sarvam yad-bhutam yacca bhسvyam
niskalanko niranjano nirvikalpo nirسkhayسtah suddho devo eko nسrسyanah na dvitiyo إsti kascit
Artinya:
Ya, Bapak Hyang Widhi yang diberi gelar Narayana, segala makhluk yang ada berasal dariMu, Dikau bersifat gaib, tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, mengatasi segala kebingungan, tak termusnahkan, Dikau maha cemerlang, maha esa tidak ada duanya, disebut Narayana dipuja semua makhluk.
OM tvam sivas tvam mahسdevah isvarah paramesvarah brahmس visnusca rudras ca purusah parikirtitah
Artinya:
Ya, Hyang Widhi yang disebut pula dengan nama Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu dan Rudra, Hyang Widhi adalah asal mula dan semua yang ada.
Kata na dvitiyo yang artinya hanya satu tidak ada duanya, pada bait kedua, jelas menunjukkan bahwa agama Hindu memuja satu Tuhan meskipun beliau dipuja dengan banyak nama seperti Siwa, Mahadewa, Iswara, Paramesvara, Brahma, Wisnu, Rudra sebagaimana yang disebutkan dalam bait ketiga dalam mantram Trisandhya tadi.
Mengapa Tuhan punya banyak nama dan bagaimana cara memahamj? Untuk menjawab pertanyaan itu, baiklah kita melihat sebuah contoh kehidupan sehari-hari sebagai perbandingan.
Ada orang bernaina Sunu. Jabatan Sunu dalam lembaga pemerintahan adalah sebagai direktur. Karena itu, semua pegawai bawahannya memanggil Pak Sunu dengan sebutan Pak Direktur. Tetapi Pak Sunu ini juga sebagai rektor dari sebuah perguruan tinggi, sehingga semua mahasiswanya memanggil dengan nama Pak Rektor. Di rumah, sebagai seorang suami, istrinya memanggil dengan ucapan beli yang artinya kakak (kanda). Sebagai seorang ayah, Pak Sunu dipanggil anaknya dengan sebutan aji atau bapa yang artinya bapak atau ayah. Apakah nama yang banyak ini berarti orangnya banyak? Tidak, kan? Karena orang itu hanya satu, yaitu Pak Sunu sendiri. Pak Sunu menyandang banyak sebutan atau nama, dan setiap nama yang dipakainya itu benar, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Jadi, nama ini erat sekali hubungannya dengan fungsi atau tugas. Demikian pula Tuhan atau Bapak Hyang Widhi Wasa. Beliau disebut Brahma pada waktu menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Beliau juga disebut Wisnu pada waktu memelihara semua ciptaannya dengan penuh cinta kasih. Beliau disebut Siwa pada waktu mengembalikan ciptaannya ke asalnya.
Sehubungan dengan fungsi Siwa ini, orang Barat banyak yang keliru memberikan tafsir. Mereka mengatakan Siwa adalah Dewa Perusak, melakukan pralina dengan terjemahan to destroy. Padahal arti sebenarnya yakni, ômengubah dan bentuk sekarang ke bentuk semula (asal)ِ. Misalnya, tubuh manusia yang kekar dan gagah, setelah meninggal akan hancur menjadi pretiwi (tanah), apah (zat cair), bayu (angin), teja (panas), dan akasa (ether). Karena lima unsur yang disebut Panca Maha Butha itulah asalnya manusia. Jadi istilah ôperusakِ atau ôpenghancurِ kurang tepat, karena konotasinya negatif. Jika istilah ini dibiarkan terus berdengung tanpa ada usaha meredam, maka jangan-jangan nanti umat Hindu ditafsirkan memuja Dewa Perusak.
Sebagaimana diyakini, Tuhan menciptakan hukum alam, hukum yang mengatur perputaran alam smesta. Planet-planet berputar teratur tanpa bertabrakan. Semua makhluk, lahir, hidup dan mati. Planet bumi berputar tidak henti-hentinya. Perubahan di dunia fana ini adalah hukum yang abadi. Segala sesuatu yang diciptakan, setelah dinikmati dan dipelihara akan kembali musnah. Semua manusia yang lahir, mau tak mau harus siap menghadapi hidup dan akhirnya antre menuju pintu kematian. Lahir, hidup dan mati adalah hukum alam yang diciptakan Tuhan. Tidak ada kekuatan manusia pun yang bisa menghindari hukum abadi ini.
Kekuasaan hukum itulah yang dimanifestasikan dan dipersonifikasikan sebagai Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu (pemelihara), Dewa Siwa (pengembali). Bayangkan, apa jadinya seandainya semua makhluk yang lahir di atas bumj ini tidak ada yang mati. Pada saat tertentu tempat berdiri pun tidak ada. Itulah sebabnya, adalah keliru kalau semua bentuk kematian dinilai jelہk. Jangan pula kehancuran itu ditakuti, karena tidak semua bentuk kehancuran itu jelek. Bukankah untuk membangun yang baru, harus menghancurkan yang lama terlebih dahulu?
Nah, lalu apa pula dewa itu? Dewa adalah tidak lain dari sinar kekuasaan Tuhan. Kata dewa berasal dan urat kata div yang artinya sinar. Ambilah contoh matahari. Kalau dunia ini diatur oleh matahari yang satu, maka hidup semua makhluk pun dipengaruhi oleh sinar matahari yang satu itu pula. Air laut diterpa sinar matahari lalu menguap menjadi embun dan jatuh menjadi hujan. Maka terbentuklah sungai yang mengalirkan air itu. Jika tidak ada panas matahari, maka air laut pun tidak menguap.
Begitu pula, angin beredar karena adanya perbedaan padatnya tekanan udara di suatu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tekanan udara itu ditimbulkan oleh perbedaan panas sebagai akibat perbedaan penyinaran matahari. Andai kata angin tidak beredar, maka betapa panasnya dunia ini.
Lalu kita tahu pula, tumbuh-tumbuhan hidup karena sinar matahari. Ya, semua makhluk bisa hidup dengan baik akibat sinar matahari. Bola matahari itu sendiri tidak pernah menempel pada bumi. Hanya sinarnya saja yang menyentuh bumi.
Begitulah Tuhan, bila diumpamakan bagaikan matahari. Sinar-sinarnya adalah dewa. Sinar itu tidak lain dari sinar yang timbul dari kekuatan matahari. Bila matahari tidak ada, maka sinar itu pun tidak ada. Dewa-dewa pun begitu juga. Bila Tuhan tidak ada, dewa-dewa pun tidak ada.
Para pakar yang menggeluti ôilmu sinarِ sudah meneliti bahwa sinar matahari itu banyak warnanya dan berbeda-beda pula fungsi dan khasiatnya. Ada sinarmerah, ungu, ultraviolet, infra merah dan bermacam-macam warna dan nama lainnya. Bukankah semua sinar itu sumbernya hanya satu? Para pakar matahari itu menyatakan, tiap sinar matahari itu mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap bumi. Sebab itulah diberi nama yang berbeda, karena mempunyai kekuatan yang berbeda.
Sama halnya dengan sinar matahari, dewa-dewa dalam agama Hindu pun dianggap memiliki warna yang berbeda pula. Dewa Brahma warnanya merah, Dewa Wisnu warnanya hitam, Dewa Iswara warnanya putih, Dewa Mahadewa warnanya kuning dan dewa-dewa yang lain, lain pula warnanya.
Jika Anda bertanya: kalau dewa-dewa itu tidak lain sinar kekuatan Tuhan yang satu, mengapa tidak disebut Tuhan saja? Mengapa harus diberi nama dan dipersonifikasikan lagi? Apakah penghayatan itu tidak keliru? Tidak! Andaikan penghayatan umat Hindu ini dianggap keliru, maka para ahli sinar matahari pun keliru pula karena memberi nama yang berbeda terhadap sinar matahari. Mengapa harus disebut sinar ultra merah, ultra ungu, ultraviolet dan sebagainya? Mengapa tidak disebut sinar matahari saja?
Agar dapat memahami dengan baik, maka kita hendaknya bisa memisahkan antara pengertian hakikat, penghayatan, dan praktis. Semua itu agar tidak dicampuradukkan. Kitab suci sudah tegas-tegas menyebut, pada hakikatnya agama Hindu memuja satu Tuhan. Tetapi dalam penghayatannya, umat Hindu memuja Tuhan melalui sinar-sinar kekuatan Beliau yang disebut dewa-dewa.
Di dalam praktek, umat Hindu membuatkan bangunan-bangunan khusus, untuk masing-masing dewa sesuai dengan kekhususan fungsi-Nya. Bangunan khusus mi dibuat bertujuan untuk memantapkan perasaan umat terutama yang awam tentang filsafat. Hal inilah yang sering membingungkan ôorang luarِ yang tidak mengenal dan mendalami filsafat Hindu. Mereka sering terburu-buru ômenuduhِ bahwa agama Hindu Politheistis. ôTuduhanِ yang keliru itu tentu tidak akan muncul bila mereka memahami dengan jelas filsafat Hindu.
Untuk memperjelas, ada contoh sederhana yang bisa dipakai perbandingan. Sistem pemerintahan di Indonesia misalnya. Yang mengatur sektor pertanian yakni Departemen Pertanian. Yang mengatur bangunan jembatan dan jalan yakni Departemen Pekerjaan Umum. Sektor pariwisata diatur Departemen Parpostel. Semua departemen itu adalah lembaga pemerintah Indonesia. Departemen itu dibentuk untuk menspesialisasikan pengurusan kebutuhan rakyat.
Karena itulah, bila seorang petani mohon bimbingan tentang pertanian, akan keliru sekali kalau minta ke Departemen Agama, karena seharusnya ia datang ke Departemen Pertanian. Begitulah cara penghayatan umat Hindu terhadap Tuhan mereka. Tuhan itu dipersonifikasikan dan fungsi-Nya diumpamakan sebagai sinar matahari.

Apakah Tuhan Punya Wujud?
Selanjutnya marilah kita mencari jawaban pertanyaan ini: apakah Tuhan dalam agama Hindu mempunyai wujud? Apakah Tuhan sama seperti manusia sehingga kepadaNya kita mempersembahkan sesajen yang terbuat dari bermacam-macam makanan? Mengapa pula umat Hindu membuat patung-patung yang disakralkan? Untuk memahami ini, maka kita hendaknya tidak hanya melihat filsafatnya saja. Kita mesti memahami pula bagaimana cara-cara penghayatan umat Hindu yang awam.
Simaklah arti bait kedua mantram Trisandhya: OM BapakHyang Widhi yang diberi gelar Narayana, segala makhluk yang ada berasal dari Hyang Widhi, Dikau bersfat gaib, tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, menguasai segala kebingungan, tak termusnahkan, Dikau Maha Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa tidak ada duanya, disebut Narayana dan dipuja oleh semua mahluk.
Di sini jelas bahwa Tuhan, Bapak Hyang Widhi Wasa, tidak berwujud dan tidak dapat diwujudkan. Tetapi mengapa ada patung-patung dewa? Apakah umat Hindu berarti menyembah berhala pula? Mengapa tidak konsekwen menyembah satu Tuhan?
Mari kita lepaskan dulu praBapakka dan tuduhan yang bertubi-tubi ini, meskipun datangnya dari orang yang mengaku atau merasa intelektual dan modern. Kita tahu, bahwa semua bangsa di dunia mencintai dan menghormati bangsanya. Tetapi cobalah tanya, bagaimana wajah bangsanya? Tidak seorang pun tahu dan bisa menjelaskan bagaimana rupa sebenarnya dari apa yang disebut bangsa itu. Karena itulah, semua bangsa membuat simbul. Bangsa Indonesia menggambarkan simbul bangsanya dengan bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, dan sebagainya. Apakah memang begitu wajah Bangsa Indonesia? Bukankah bendera Merah Putih itu hanya secarik kain yang terdiri dari kain berwama merah dan putih? Apakah kita menghormati kain? Bukankah kain itu ciptaan manusia? Kita menghormati Garuda Pancasila, tapi apakah Garuda Pancasila itu persis sama dengan burung Garuda? Apakah kita termasuk penganut totem yang menghormati binatang? Kita bisa menjawab dengan gampang: tidak! Bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, hanya simbul yang Bapakat berguna untuk memantapkan rasa hati berbangsa.
Perhatikanlah, pada saat bendera dinaikkan dalam upacara, baik orang yang rasional maupun yang irrasional dengan tertib dan hikmad memberi hormat kepada bendera itu, meskipun semua orang tahu bendera itu terbuat dari kain ciptaan manusia. ôKeanehanِ ini timbul karena keinginan, naluri manusia, yang memvisualisasikan bentuk-bentuk yang abstrak, agar lebih mudah dimengerti atau dihayati oleh orang awam.
Demikianlah Tuhan dalam agama Hindu, sudah jelas disebutkan dalam Weda, bahwa la tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan dipikirkan pun tidak. Tetapi kalau orang yang sembahyang tidak menggambarkan bentuk yang disembah itu, maka konsentrasinya tidak akan bisa sempuma. Meskipun tidak berwujud patung, orang yang sembahyang tentu menggambarkan Tuhan itu dalam hatinya, minimal dalam bentuk pikiran. Nama pun adalah sebuah simbul. Adanya sebuah nama, tentu karena didahului oleh adanya sebuah bentuk, walaupun abstrak.
Istilah Tuhan, Hyang Widhi, dan nama apapun yang diberikan menurut agama lain atau daerah tertentu adalah simbul untuk menamai bentuk pikiran yang tidak dapat dilukiskan karena abstraknya. Kecenderungan ingin melukiskan Tuhan atau dewa dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa bhakti (cinta). Sebagaimana halnya seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita sampai pada tingkat madnes (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya seakan-seakan bantal guling itu kekasihnya. Bila yang sedang dimabuk asmara itu suka membaca atau mengarang puisi, maka ia menggambarkan wanita itu dengan saiak-sajaknya, yang penuh dengan perumpamaan. Misalnya, matanya seperti bintang timur, mukanya seperti bulan purnama, bibirnya merah seperti merah delima dan sebagainya. Padahal, cobalah pikir,jika ada wanita yang matanya persis menyerupai bintang timur dan mukanya bulat seperti bulan purnama, wanita itu barangkali tidak bisa disebut cantik.
Tetapi, itulah simbul, ekspresi yang muncul dari perasaan cinta. Demikian pulalah umat Hindu yang ôtergila-gilaِ ingin menggambarkan Tuhan-nya, dewanya. Mereka membuat patung sebagai wujud perasaan cintanya, diberi perhiasan, dipuja, dan tidak pernah terpikirkan dalam hatinya bahwa patung itu adalah sebuah kayu yang diukir.
Tuhan, Hyang Widhi Wasa yang abstrak, sulit dimengerti orang awam. Seperti halnya murid TK kelas nol kecil. Dia tidak bisa membayangkan berapa tiga ditambah tiga, karena pengertian tiga itu abstrak. Maka Ibu Guru menggambar bulatan menyerupai telur di papan tulis sebanyak tiga tambah tiga. Ibu Guru bertanya , ôIni apa anak-anak?ِ Seluruh anak menjawab serentak, ôTelur.ِôBerapa jumlah telur ini anak-anak?ِ tanya Bu Guru lagi. Anak-anakpun menghitung lalu menjawab, ôEnam.ِ
Berbohongkah Ibu Guru kita itu? Bukankah yang ada di papan tulis bukan telur melainkan kapur? Anak-anak pun merasa tidak perlu mempersoalkan, apakah gurunya berbohong atau tidak. Anak-anak tidak merasa dibohongi, dan Ibu Gurunya pun tidak bermaksud membohongi dalam kasus metode proses belajar mengajar ini. Karena anak-anak yang belum mampu membayangkan sesuatu yang abstrak perlu visualisasi (peragaan), dan contoh itu tidak mesti harus persis dengan kenyataan sebenamya. Begitulah, orang sulit membayangkan Tuhan bila tidak dibantu dengan membuat bentuk. Mereka tidak dapat membayangkan Tuhan ôseindah aslinyaِ, karena mata kepalanya tidak pernah melihat.

Apakah Tuhan Suka Makan?

Jika umat Hindu ke pura membawa sesajen penuh dengan buah-buahan dan makanan yang lezat, apakah Tuhan bagi umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Demikian pula jika pura dihias dan diukir dengan indah, apakah Tuhan umat Hindu suka seni dan suka pula menonton tari-tarian?
Ditinjau secara filosofis, Tuhan adalah Maha Besar. Beliau menciptakan alam semesta. Beliaط mengadakan semua makanan dan Beliau pula menciptakan semua keindahan. Pun Beliau tidak akan kelaparan jika kita tidak mempersembahkan sesajen. Dilihat dari segi jumlah, apalah artinya persembahan itu di mata Tuhan, karena alam dan semua isinya ini adalah milik Beliau. Dengan demikian, jelas Tuhan tidak memerlukan semua ini. Hanya orang awamlah yang mengira¦ itupun kalau masih ada saat ini ¦ Tuhan memerlukan itu semua. Sesungguhnyalah, semua sesajen dan kesenian itu adalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti atau cinta kepada Tuhan. Orang yang bercinta tentu ingin mempersembahkan apa saja yang dia miliki. Bahkan jiwanya pun bersedia dikorbankan demi yang dicintai.
Sebagaimana seorang ibu yang mencintai bayinya yang baru berusia tiga bulan, ia memberikan baju untuk bayinya, membelikan perhiasan dan lain-lainnya, padahal si bayi sendiri tidak pernah meminta. Bahkan tidak pernah mengerti apa arti perhiasan dan baju tersebut. Semua pemberian si ibu, lahir dari dorongan cinta kasih dan membuat ia bahagia, karena merasa telah berbuat sebaik-baiknya kepada si buah hati yang dikasihi.
Demikianlah sesajen dan kesenian yang disuguhkan pada waktu upacara agama Hindu. Secara spiritual semua persembahan itu memberikan kebahagiaan kepada orang yang mempersembahkan, karena dengan semua alat ini mereka bisa mencurahkan rasa bhakti atau cinta kasihnya. Tuhan tidak minta untuk dipuja, tetapi manusialah yang mencurahkan rasa bhaktinya. Bagi orang awam persembahan sesajen itu dikira akan membikin Tuhan menjadi senang, seperti halnya si ibu mengira bayinya akan senang setelah diberi baju dan perhiasan. Cetusan rasa cinta yang suci terwujud dalam keinginan untuk memberi dan berkorban. Tetapi jika cinta telah dihinggapi oleh keserakahan maka lahirlah keinginan untuk memiliki dan menuntut dengan penuh nafsu.
Tempat dan Arah Memuja Tuhan
Umat Hindu meyakini bahwa alam semesta dengan bintang dan planet-planet di ruang angkasa yang tidak terlihat oleh mata bahkan oleh teropong bintang sekali pun, sebenarnya ada dalam diri Hyang Widhi. Bumi kita tidak lebih dan sebuah sel Hyang Widhi.
Kalau kita bandingkan diri kita setitik air di dalam samudra, titik air ini tidak boleh mengatakan dirinya samudra, karena di dalam samudra titik air ini merupakan bagian yang amat kecil. Dalam titik air ini, sifat asin samudra ada. Demikian pula manusia walaupun ada di dalam diri Tuhan tidak bisa mengatakan dirinya Tuhan, meskipun sifat-sifat ketuhanan itu ada dalam diri manusia.
Dalam susunan yang demikian itu maka sulit untuk mengatakan di mana sebenamya Tuhan itu bertahta. Tuhan ada di mana-mana. Tidak ada tempat yang tidak ditempati Tuhan. Jika Tuhan ada di mana-mana, mengapa manusia memuja Tuhan di pura atau di tempat suci lainnya? Apa perlunya membuat pura? Bukankah dari tempat tidur atau sambil jongkok, kita bisa bersembahyang?
Memang, tetapi cara yang paling mudah dan indah untuk mendekati Tuhan adalah melalui rasa. Untuk membangkitkan rasa agama, rasa cinta kepada Tuhan, maka perlu kondisi yang bisa menggiring rasa ketuhanan muncul dan bergelora dengan mantap. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu membuat pura di tempat-tempat yang indah, tempat-tempat bersejarah atau tempat-tempat yang bisa membangkitkan kekaguman akan kebesaranTuhan.
Sad Kahyangan di Bali yang merupakan pura inti seperti Pura Besakih, Batur, Lempuyang, Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu dan ribuan pura lainnya, semuanya dibangun di tempat yang penuh ketenangan, keindahan dan keagungan. Di tempat-tempat ini, orang akan merasa kecil di tengah-tengah kebesaran dan keindahan alam yang diciptakan Hyang Widhi.
Dalam kondisi demikian, maka orang akan mudah mengagumi dan menghormati Tuhan. Di tempat yang demikian rasa ego akan lenyap diganti oleh rasa kagum dan hormat, maka konsentrasi pikiran kepada Tuhan akan lebih mantap.
Karena kita ingin mewujudkan kondisi yang suci itu, maka bahan dan bentuk pura pun tidak dibuat menyerupai rumah tempat tinggal atau gedung perkantoran. Bagi umat Hindu, pura adalah Kahyangannya Tuhan. Oleh karena itu, pura dibuat dari bahan-bahan tertentu, sehingga bila memasuki pura, kita merasa masuk ke Kahyangan dan Tuhan pun rasanya ada di sana.
Menghadap ke manakah kita bersembahyang? Gunung dan tempat matahari terbit merupakan kiblat bagi umat Hindu menundukkan kepala kepada Hyang Widhi. Kenapa ke arah gunung? Karena gunung dikenal dengan sebutan ôAcala Linggaِ, yang berarti tempat Tuhan yang tidak bergerak. Umat Hindu meyakini, gunung adalah linggih (tempat) Hyang Widhi. Mengapa Tuhan dipuja di puncak gunung? Bukankah Tuhan ada di mana-mana?
Benar, Tuhan ada di mana-mana. Tetapi umat meyakini bahwa untuk memuliakan Tuhan, maka Beliau ôditempatkanِ di tempat yang lebih tinggi. Makin tinggi suatu tempat, makin mulialah yang dipuja. Itu pula sebabnya gunung Mahameru yang tertinggi di India dianggap sebagai linggih Siwa. Di Pulau Jawa, Gunung Semerulah yang dianggap paling tinggi oleh umat Hindu sejak zaman dulu. Sedang di Pulau Bali Gunung To Langkir atau Gunung Agung merupakan linggih Hyang Widhi (Siwa). Di pura, bangunan meru¦bangunan yang tertinggi¦dilambangkan sebagai gunung. Kata meru mengingatkan kita kepada Gunung Mahameru dan Semeru.
Selain dianggap Acala Lingga, gunung mempunyai arti penting bagi umat Hindu karena memberikan kemakmuran. Dengan hutan dan tanahnya yang subur, gunung berfungsi menyimpan air hujan lalu sedikit demi sedikit dialirkan melalui sungai, sehingga hampir sepanjang tahun manusia menikmati aliran sungai yang tidak henti-hentinya mengalir baik untuk diminum maupun untuk mengairi sawah. Karena itu gunung bisa disebut waduk ciptaan Tuhan. Maka wajar dan sepatutnyalah kalau umat Hindu menghadap ke gunung dalam bersembahyang, karena dari sanalah Tuhan menyampaikan anugrah. Melalui gunung pula umat Hindu menyampaikan rasa terimakasih.
Perwujudan rasa hormat itu, tampak pula pada etika yang hidup dalam masyarakat Hindu. Arah kaja (utara) dianggap sebagai hulu. Kata kaja berasal dan kata ke adya yang berarti ke gunung (adya artinya gunung). Kata utara berasal dan urat kata udyang artinya ômenonjolِ atau ômenjulangِ. Yang dimaksud dengan ômenjulangِ dalam hal ini adalah tanah yang menjulang tinggi atau gunung. Sedangkan kelod (selatan) berasal dan kata ôke lautِ dan dianggap sebagai hilir.
Dalam masyarakat, lebih-lebih di pegunungan, posisi tidur juga diatur ônormaِ atau etika berdasarkan letak gunung. Pada saat tidur, kepala berada di arah gunung, karena gunung dianggap sebagai hulu atau kepala. Di beberapa daerah, dalam menguburkan mayat, letak kepala si mayat harus ada di arah gunung.
Sebagaimana disebutkan tadi, arah matahari terbit juga dianggap suci. Letak bangunan pura umat Hindu sebagian besar terletak di arah timur menghadap ke barat, sehingga orang yang sembahyang akan menghadap ke timur. Mengapa arah matahari terbit itu disucikan? Karena matahari itu adalah simbul kekuasaan Hyang Widhi. Menurut para ahli ilmu bumi, planet bumi kita berasal dari pecahan matahari. Dalam agama Hindu disebutkan, jazad manusia terdiri dan unsur Panca Maha Bhuta, yaitu pretiwi (tanah), apah (zat cair), teja (panas), bayu (angin), dan akasa (angkasa atau zat ether). Kekuatan yang ditimbulkan matahari menyebabkan bumi berputar, angin dan air beredar. Dengan sinar matahari semua makhluk bisa hidup. Matahari adalah sumber energi. Tanpa matahari kehidupan tidak mungkin ada.
Dalam Nitisastra disebutkan,jika saat tidur kepala berada pada arah matahari terbit (timur) maka akan menyebabkan panjang umur. Jika saat tidur kepala berada pada arah gunung, maka akan menyebabkan murah rezeki. Dalam kenyataannya, sebagaimana telah banyak disinggung, matahari merupakan sumber kehidupan dan gunung memberikan kemakmuran.
Mengapa Tuhan disebut melinggih (bertempat) di gunung, matahari dan pura? Bukankah Tuhan ada di mana-mana dan menguasai alam semesta?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya kita dapat mengambil contoh: seorang tuan tanah yang memiliki tanah berhektar-hektar. Jika tuan tanah ingin melihat tanahnya, dia akan memilih tempat yang lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya. Dengan begitu dia akan dengan mudah melihat atau mengawasi miliknya. Demikianlah Tuhan sebagai penguasa alam, ômenganggapِ matahari dan gunung milik-Nya yang tertinggi dan terbaik untuk mengawasi seluruh alam dan segala isinya. Tapi ini hanya sekadar contoh untuk memudahkan pemahaman.
Demikianlah mengapa umat Hindu mencakupkan tangan memuja Tuhan ke arah matahari terbit, atau ke arah gunung. Karena dari tempat dan arah itu Hyang Widhi dipercaya mengawasi dan menyampaikan kasih berupa anugrah yang melimpah kepada semua makhluk. Maka sudah sepatutnya, dari mana datangnya kasih, melalui itu pula umat Hindu menundukkan kepala menyatakan terima kasih.
Sumber: Buku “Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan



3 komentar:

Fransiskus Andut mengatakan...

jawaban anda menarik sekalipun saya berasal dari pemeluk agama lain tetapi bahsa anda bisa dipahami dan sukses....

Unknown mengatakan...

saya muslim, dan saya suka cara berfikir anda, menurut saya itu sangat keren

Unknown mengatakan...

saya muslim, dan saya suka cara berfikir anda, menurut saya itu sangat keren