14 November 2013

"MELUKAT" Untuk Pembersihan Diri


Seseorang yang terus dihantui mimpi buruk, perasaan gelisah atauselalu ditiban masalah yang dinilai cukup berat, selalu disarankan melukat. Tradisi yang sudah ada sejak zaman Veda ini sungguh tetap melekat pada tradisi umat Hindu di Bali. Melukat biasanya dilakukan di sumber mata air seperti pancoran, segara (laut), campuhan, dan di tempat pemujaan di rumah atau di griya.


Melukat adalah upacara pembersihkan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia. "Sama seperti badan yang diberikan dengan sabun, jiwa dan pikiran juga perlu dibersihkan dengan melukat, "ujar Guru Mangku Gede Alit Adnyana, Pengawit Pura Campuhan Windhu Segara, Padanggalak, Kesiman.
Makna dari upacara melukat ini, menyucikan dan membersihkan kembali sifat buruk dan kotor yang ada dalam setiap diri manusia. Melukat berasal dari kata sulukat. Su berarti baik dan Lukat berarti penyucian. Jadi, melukat berarti menyucikan diri guna memperolrh kebaikan, kerahayuan. Karena filosofi ini pula, upacara melukat kini tak hanya dilakukan umat Hindu. Menurut pengakuan Guru Mangku, khususnya di Pura Campuhan Windhu Segara, segala umat pernah melakukan pengelukatan. "Mungkin mereka yang memiliki masalah berat, ingin mencoba membersihkan diri di sini. Sekarang melukat sudah universal, " ujarnya.
Umumnya, seperti yang diyakini orang kebanyakan, upacara melukat ini dilakukan pada hari-hari baik (dewasa ayu), seperti saat Purnama atau Banyu Pinaruh. Namun, Guru Mangku justru menyarankan sebaliknya. Khususnya bagi yang ingin melukat ke pura ini disarankan dating pada hari-hari biasa. "Pada hari biasa, pelayanan kami kepada umat tentu lebih maksimal. Tidak seperti saat Saraswati sampai Banyu Pinaruh lalu, ramai sekali jadi hanya bisa sebentar-sebentar dilayani, " ujarnya. Ia tak mengharuskan pemedek (orang yang datang untuk sembahyang) datang pada hari-hari tertentu yang dianggap hari baik pun, dikarenakan tak selamanya pemedek bisa mematuhinya. "Misalkan saya bilang dating Purnama besok, tetapi pemedek berhalangan, bagaimana? Jadi, lebih baik dating pada hari-hari biasa . Jika melihat kalender untuk mencari dewasa ayu (hari baik), baik dan buruk tetap berdampingan. Menurut saya, mencari dewasa ayu itu terkait rasa, "imbuhnya.
Anggapan kebanyakan orang untuk tidak boleh melukat saat pasha pun ditanggapinya enteng. "Saya justru menyarankan pasah. Jika ditanya, saya jawab saja karena pasah berarti pisah, memisahkan/melepaskan kotoran, " ujarnya. Demikian halnya dengan sarana bungkak nyuh gading dan banten pejati yang dipakai untuk melaksanakan prosesi melukat tersebut. Semua itu dikatakannya kembali pada "rasa" dan "keyakinan" pemedek. "Umat lain saja tak membawa apa-apa, tetap saya layani, yang penting mereka yakin, 'ujarnya.
Guru Mangku menjelaskan sarana melukat tidak ditargetkan harus pejati atau banten lainnya. Bunga dan dupa sebagai saksi sudah cukup. Keyakinan kebanyakan orang memakai sarana bungkak nyuh gading ditenggarainya berdasarkan sastra taru premana yang mengebutkan : tiang bungkak nyuh gading, tiang panumadian Sang Brahmana, tiang dados anggen melukat sarwa gering (masalah). Sedurung tiang melukat, tan prasida tambanin. "Mungkin ini yang berkembang di masyarakat, "ujarnya.



Sesuai sastra, pengelukatan bisa dilakukan dimaa saja. Namun, alangkah baiknya dilakukan di sumber mata air seprti beji, patirtan, pancoran, laut, campuhan, atau pada lokasi-lokasi yang memiliki vibrasi positif yang sangat kuat.
Adapun tahapan pengelukatan yang dilakukan Guru Mangku khususnya di Pura Campuhan Windhu Segara adalah: Pertama, pengeleburan dasamala melalui mantra-mantra yang diucapkan pemangku, keacep ring Bhatara Wisnu sebagai pemelihara (air), Kedua, nyapuh sarwamala. Pemedek turun ke campuhan, dengan filosofi segala kekotoran dalam diri dihayutkan ke laut. Setelah membuang kotoran yang ada dalam diri (dengan rasa), dilanjutkan, Ketiga, jiwa dan pikiran diisi kesucian di Pura Beji, Keempat, persembahyangan di gedong utama
Pengelukatan sederhana sejatinya bisa dilakukan di rumah, dengan air cacapan pawon (cocoran atap dapur). Keyakinan ini filosofinya adalah pengeleburan oleh Dewa Brahma. Guru Mangku pun mengaku saat masih kecil dulu, ia dan keluarga sangat sering melakukannya. "Dulu adik sering menangis malam-malam, disiram pakai air cacapan pawon. Memohon pada Bhatara Brahma (api), Wisnu (air), dan Iswara (angin) melalui ucapan, doa-doa, "kisahnya. Hal yang sama juga dilakukan ketika datang dari tempat kematian. Tradisi ini masih dilakukan sampai sekarang.
Guru Mangku menambahkan, dulu di keluarganya, menyiram kepala dengan air cacapan pawon ini tak sebatas ketika datang dari tempat kematian, melainkan tiap datang dari luar dan masuk ke pekarangan rumah. Ini fungsinya di percaya untuk melebur kotoran dalam diri. "Makanya, zaman dulu pawon (dapur) ada di depan, "tegasnya.
CAMPUHAN
Campuhan merupakan tempat pertemuan air laut (segara) dengan air gunung (sungai). Sastra menyebutkan, segara pinaka ibu pertiwi (predana), Di sinilah dikatakan leluhur kita semua ada, pertemuan purusa-predana. Campuhan merupakan tempat suci, tempat purusa-predana, segara-gunung. Lahir dari ibu pertiwi, pulang ke ibu pertiwi. Karena itu, ia menyebutkan fungsi pura Campuhan Windhu Segara ini luar biasa. "Di pura ini bisa melasti, nyegara gunung, mebayuh oton, melukat, ngangkit, dan lain-lain. Hampir setiap hari ada upacara di sini,' ujarnya.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

Apakah agama lain boleh ikut melukat?