Melukat
adalah upacara pembersihkan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri
manusia. "Sama seperti badan yang diberikan dengan sabun, jiwa dan pikiran
juga perlu dibersihkan dengan melukat, "ujar Guru Mangku Gede Alit
Adnyana, Pengawit Pura Campuhan Windhu Segara, Padanggalak, Kesiman.
Makna
dari upacara melukat ini, menyucikan dan membersihkan kembali sifat buruk dan
kotor yang ada dalam setiap diri manusia. Melukat berasal dari kata sulukat. Su
berarti baik dan Lukat berarti penyucian. Jadi, melukat berarti menyucikan diri
guna memperolrh kebaikan, kerahayuan. Karena filosofi ini pula, upacara melukat
kini tak hanya dilakukan umat Hindu. Menurut pengakuan Guru Mangku, khususnya
di Pura Campuhan Windhu Segara, segala umat pernah melakukan pengelukatan.
"Mungkin mereka yang memiliki masalah berat, ingin mencoba membersihkan
diri di sini. Sekarang melukat sudah universal, " ujarnya.
Umumnya,
seperti yang diyakini orang kebanyakan, upacara melukat ini dilakukan pada
hari-hari baik (dewasa ayu), seperti saat Purnama atau Banyu Pinaruh. Namun,
Guru Mangku justru menyarankan sebaliknya. Khususnya bagi yang ingin melukat ke
pura ini disarankan dating pada hari-hari biasa. "Pada hari biasa,
pelayanan kami kepada umat tentu lebih maksimal. Tidak seperti saat Saraswati
sampai Banyu Pinaruh lalu, ramai sekali jadi hanya bisa sebentar-sebentar
dilayani, " ujarnya. Ia tak mengharuskan pemedek (orang yang datang untuk
sembahyang) datang pada hari-hari tertentu yang dianggap hari baik pun,
dikarenakan tak selamanya pemedek bisa mematuhinya. "Misalkan saya bilang
dating Purnama besok, tetapi pemedek berhalangan, bagaimana? Jadi, lebih baik
dating pada hari-hari biasa . Jika melihat kalender untuk mencari dewasa ayu
(hari baik), baik dan buruk tetap berdampingan. Menurut saya, mencari dewasa
ayu itu terkait rasa, "imbuhnya.
Anggapan
kebanyakan orang untuk tidak boleh melukat saat pasha pun ditanggapinya enteng.
"Saya justru menyarankan pasah. Jika ditanya, saya jawab saja karena pasah
berarti pisah, memisahkan/melepaskan kotoran, " ujarnya. Demikian halnya
dengan sarana bungkak nyuh gading dan banten pejati yang dipakai untuk
melaksanakan prosesi melukat tersebut. Semua itu dikatakannya kembali pada
"rasa" dan "keyakinan" pemedek. "Umat lain saja tak
membawa apa-apa, tetap saya layani, yang penting mereka yakin, 'ujarnya.
Guru
Mangku menjelaskan sarana melukat tidak ditargetkan harus pejati atau banten
lainnya. Bunga dan dupa sebagai saksi sudah cukup. Keyakinan kebanyakan orang
memakai sarana bungkak nyuh gading ditenggarainya berdasarkan sastra taru
premana yang mengebutkan : tiang bungkak nyuh gading, tiang panumadian Sang Brahmana,
tiang dados anggen melukat sarwa gering (masalah). Sedurung tiang melukat, tan
prasida tambanin. "Mungkin ini yang berkembang di masyarakat,
"ujarnya.
Sesuai
sastra, pengelukatan bisa dilakukan dimaa saja. Namun, alangkah baiknya
dilakukan di sumber mata air seprti beji, patirtan, pancoran, laut, campuhan,
atau pada lokasi-lokasi yang memiliki vibrasi positif yang sangat kuat.
Adapun
tahapan pengelukatan yang dilakukan Guru Mangku khususnya di Pura Campuhan
Windhu Segara adalah: Pertama, pengeleburan dasamala melalui mantra-mantra yang
diucapkan pemangku, keacep ring Bhatara Wisnu sebagai pemelihara (air), Kedua,
nyapuh sarwamala. Pemedek turun ke campuhan, dengan filosofi segala kekotoran
dalam diri dihayutkan ke laut. Setelah membuang kotoran yang ada dalam diri
(dengan rasa), dilanjutkan, Ketiga, jiwa dan pikiran diisi kesucian di Pura
Beji, Keempat, persembahyangan di gedong utama
Pengelukatan
sederhana sejatinya bisa dilakukan di rumah, dengan air cacapan pawon (cocoran
atap dapur). Keyakinan ini filosofinya adalah pengeleburan oleh Dewa Brahma.
Guru Mangku pun mengaku saat masih kecil dulu, ia dan keluarga sangat sering
melakukannya. "Dulu adik sering menangis malam-malam, disiram pakai air
cacapan pawon. Memohon pada Bhatara Brahma (api), Wisnu (air), dan Iswara
(angin) melalui ucapan, doa-doa, "kisahnya. Hal yang sama juga dilakukan
ketika datang dari tempat kematian. Tradisi ini masih dilakukan sampai
sekarang.
Guru
Mangku menambahkan, dulu di keluarganya, menyiram kepala dengan air cacapan
pawon ini tak sebatas ketika datang dari tempat kematian, melainkan tiap datang
dari luar dan masuk ke pekarangan rumah. Ini fungsinya di percaya untuk melebur
kotoran dalam diri. "Makanya, zaman dulu pawon (dapur) ada di depan,
"tegasnya.
CAMPUHAN
Campuhan
merupakan tempat pertemuan air laut (segara) dengan air gunung (sungai). Sastra
menyebutkan, segara pinaka ibu pertiwi (predana), Di sinilah dikatakan leluhur
kita semua ada, pertemuan purusa-predana. Campuhan merupakan tempat suci,
tempat purusa-predana, segara-gunung. Lahir dari ibu pertiwi, pulang ke ibu
pertiwi. Karena itu, ia menyebutkan fungsi pura Campuhan Windhu Segara ini luar
biasa. "Di pura ini bisa melasti, nyegara gunung, mebayuh oton, melukat,
ngangkit, dan lain-lain. Hampir setiap hari ada upacara di sini,' ujarnya.
1 komentar:
Apakah agama lain boleh ikut melukat?
Posting Komentar