27 Agustus 2009

Jangan Mau Menjadi Orang Miskin


Bercermin pada tayangan kejadian di masyarakat, ternyata kita perlu memberikan perhatian pada petunjuk leluhur kita tentang tidak “enak”-nya menjadi orang miskin.

Di dalam bahasa Sanskerta dan juga bahasa Kawi, sebutan untuk miskin adalah daridra. Walaupun katanya indah tetapi ternyata kata itu begitu pahit. Pahit bagi setiap yang melihat dan terutama pahit bagi yang membawanya, bagi yang mengalami daridra itu sendiri.

Oleh karena itulah Catur Purushartha memberikan penegasan kita perlu berusaha mengumpulkan harta. Dari kepentingan itulah selanjutnya kata tujuan akhirnya juga ditunjukkan dengan kata artha itu sendiri. Kata artha berarti harta/uang dan juga berarti tujuan.

Ajaran Hindu tidak menganjurkan orang menjadi atau mengarah ke loba melainkan diajarkan hidup praktis, bahwa kita memang memerlukan uang. Tetapi, pencarian uang seharusnya tidak sampai membuat “cacat” mental-karakter seseorang. Mengingat kepentingan akan harta, akhirnya orang memang menjadikannya sebagai TUJUAN hidup, lalu memperolehnya melalui berbagai cara, cara apa pun. Bahkan di banyak tempat, ternyata kesempatan terbuka lebar untuk kita ambil bagian aktif dalam “pesta pora” pencarian artha tersebut.

Pada awalnya, orang mungkin gugup tanda kutip, malu tapi mau, tetapi, lama kelamaan…, ia akan menjadi terbiasa, sampai akhirnya, tanpa “pesta pora” tersebut, tanpa tanda tangan dan amplop tersebut, akhirnya ia “tidak akan bisa tidur nyenyak”. Ia tidak akan bisa melewatkan hidupnya tanpa harus memasuki permainan tersebut, yang telah mentradisi dan menjadi bagian dari “tujuan hidup”nya.

Nah demi tidak membiarkan diri terhanyut dalam permainan “tanda tangan amplop” tersebut, barangkali kita perlu bercermin dari “centilan” leluhur berikut:

Ika tang daridra, yadyapin prajna tuwi, (tersebut seorang miskin, walaupun ia bijak terpelajar..), tan hinidep juga ikang senujarakenya (maka orang-orang tidak akan pernah bersedia mendengarkan kata-kata/nasihatnya, orang-orang tidak akan “mengerti” apa-apa yang ia sampaikan).

Kami sempat melihat kejadian seorang anak mahasiswa sangat cerdas dan baik. Suatu kali ia mengacungkan tangan dalam suatu rapat/diskusi. Ternyata, ia hanya mengacungkan tangan berkali-kali sampai akhirnya rapat/diskusi ditutup. Ya…, ia mahasiswa miskin. Kasihan …, tidak ada yang bersedia mendengar ia berbicara.

Lebih lanjut disebutkan, yadyapi mangene kaladesha tuwi (walaupun apa-apa yang ia sampaikan sangat sesuai dengan waktu/keadaan dan sesuai pula dengan tempat/tradisi setempat), tetap saja karena ia seorang miskin, tidak ada seorang pun yang bersedia mendengarkannya. Bahkan juga, walupun apa-apa yang ia katakan merupakan kata-kata bijaksana yang memberikan kesejahteraan bagi pendengarnya, (shabda hitawasana tuwi), ternyata orang-orang tidak bersedia mendengarkannya. Alasannya? Orangnya miskin alias daridra.

Begitulah, ajaran Hindu tidak mendukung kemiskinan. Untuk itu, kata artha atau harta/uang, diberikan penekanan sebagai tujuan hidup, dengan didasarkan pada jalan dharma. Umat Hindu dituntun oleh sastranya untuk mencari atau mengumpulkan harta benda/uang dengan mendasarkannya pada jalan kebenaran, kejujuran, jalan yang diberkahi Hyang Parama Kawi. Indah memang, tetapi keadaan dan kesempatan sering membuat orang “tidak bersedia” mengenal jalan indah tersebut.
Pesan : JANGAN MENJADI ORANG MISKIN, SEBAB IA MENJIJIKKAN ORANG SEKITAR....KENTEN KOCAP....
(Darmayasa)

Tidak ada komentar: