Bukan suatu yang aneh jika di Bali kita hamper setiap hari
menyaksikan umat Hindu membawa sajen ke Pura penuh dengan buah dan makanan yang
lezat. Bagi orang non-Hindu utamanya yang bukan orang kelahiran Bali atau
tumben datang ke Bali tentu berpikir
apakah Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak. Demikian
pula jika melihat Pura (tempat
sembahyangnya Umat Hindu) dihias dan diukir demikian indahnya, mungkin mereka
berpikir, Tuhan umat Hindu suka dengan seni, dan suka pula menonton
tari-tarian.
Menanggapi pertanyaan atau pernyataan seperti itu dapat kita
jelaskan bahwa secara philosofis Tuhan
itu maha besar, maha kuasa. Beliau mengadakan semua makanan dan Beliau
menciptakan semua keindahan. Beliau tidak akan kelaparan jika kita tidak
mempersembahkan sajen. Apakah artinya persembahan kita yang sekecil ini di mata
Tuhan, sedangkan Beliau memiliki alam semesta ini semua. Tuhan tidak memerlukan
semua ini, hanya manusialah yang menganggap ini perlu, semua sajen dan kesenian
ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti atau cintanya kepada Tuhan.
Dalam hati orang yang saling mencintai, ingin dia memberikan
segala apa yang dia miliki, bahkan jiwanyapun sedia dikorbankan demi untuk yang
dicinta. Seperti seorang Ibu yang mencintai bayinya yang berumur tiga bulan. Si
Ibu membuatkan kalung emas untuk bayinya ini, padahal si bayi tidak pernah
meminta, bahkan tidak mengerti apa arti dari kalung dan baju yang bagus itu.
Sama halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai ketingkat
madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat diumpamakan
kekasihnya. Dia ingin menggambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang
penuh dengan perumpamaan seperti misalnya: matanya seperti bintang timur,
mukanya seperti bulan purnama, bibirnya seperti delima merekah, dan sebagainya.
Kalau kita pikirkan dengan tenang, jika ada orang yang matanya seperti bintang
timur dan mukanya bulat seperti bulan purnama, barangkali tidak bisa kita
menyebutkan orang yang sedemikian cantik itu. Semua itu adalah sekedar simbol,
ekspresi dari perasaan cinta.
Demikian pula dengan umat Hindu yang tergila-gila ingin
menggambarkan Tuhannya dengan membuat patung sebagai realisasi perasaan
cintanya, dihias dan dipuja, dan tidak pernah terpikirkan dalam hatinya bahwa
patung itu adalah sebuah kayu yang diukir.
Barangkali
tidak ada bedanya dengan upacara bendera dimana tidak pernah terpikirkan dalam
hati kita, bahwa yang kita hormati dengan tegak dan khidmat hanyalah secarik
kain yang dijahit menjadi sebuah bendera. Tuhan yang abstrak sulit dimengerti
oleh orang awam, seperti halnya anak murid kelas nol kecil, jika diajar ilmu
berhitung ia tidak dapat membayangkan berapa tiga ditambah tiga, karena
pengertian tiga itu adalah sesuatu yang abstrak, maka Ibu Guru terpaksa
menggambarkan bulatan yang berbentuk telur di papan sebanyak tiga tambah tiga,
seraya menanyakan pada anak-anak: “Ini gambar apa anak-anak?”. “Telur”, jawab anak-anak. ”Berapa jumlahnya
anak-anak?”, tanya Ibu Guru. Maka anak-anakpun menghitung bulatan-bulatan yang
ada di papan yang dianggapnya telur itu dan mereka dapat menjawabnya dengan
tepat.
Jika pada waktu itu ada seorang mahasiswa melihat Ibu Guru
mengajar dengan cara yang demikian, maka si mahasiswa itu bisa saja menegur Bu
Guru dengan kata-kata yang menyalahkan: “Bu Guru jangan diajarkan anak-anak
berbohong, yang Ibu tulis di papan itu bukan telur, melainkan kapur, mengapa Bu
Guru katakan pada anak-anak bahwa itu telur?”. Dengan cara itu apakah Bu Guru telah berbuat salah atau
berbohong? Tentu tidak bukan?
Bagi anak-anak yang belum bisa membayangkan sesuatu yang abstrak itu perlu visualisasi (peragaan), dan contoh itu tidak mesti harus tepat, demikian pula orang awam sulit mebayangkan Tuhan itu ada karena matanya tidak pernah melihat. Mereka juga tidak pernah mengerti kalau Tuhan tidak berbentuk, mengapa dibuatkan Vihara atau Pura. Tuhan tidak perlu rumah dan tidak perlu tempat.
Demikianlah sebenarnya yang terjadi. Apa yang dilakukan oleh
umat Hindu dalam menghayati Tuhan-nya adalah seperti perumpamaan-perumpamaan
diatas. Tidak ada sesuatu yang aneh, semua logis dan bisa
dipertanggungjawabkan. Semoga bisa dimengerti sehingga tidak ada lagi kata-kata
sinis yang keluar dari ketidak mengertian mereka. Namun, kalau toh masih ada
kata-kata semacam itu, “Mari Mencoba Mencoba Mengerti Ketidak
Mengertian Mereka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar