Impian ku yang lama terpendam ini akhirnya menjadi kenyataan ketika pada saat hendak sembahyang di Pura Niti Praja bersama istriku dalam rangka perayaan Tumpek Kuningan, Pak Gede Aryana Bisma menyalamiku dan menyampaikan undangan lisan hendak mengajak beberapa teman-teman OKP di Jembrana mengadakan kegiatan Studi Komparatif ke DPD KNPI Provinsi Banten yang mana dalam kegiatan tersebut dilakukan kegiatan Tirta Yatra ke Pura Gunung Salak dan mengunjungi obyek wisata lainnya di sekitar Jakarta. Yang membuat aku tertarik akan penawaran tersebut adalah Tirta yatra ke Pura Gunung Salak meskipun secara formal kegiatan tersebut adalah Study Komparatif ke DPD KNPI Provinsi Banten. Niatan tersebut serta ajakan dari teman-teman OKP yang turut serta membuatku betul-betul bisa mengatur waktuku supaya bisa mengikuti kegiatan tersebut. beberapa hari menjelang pelaksanaan kegiatan tersebut diadakan rapat untuk memastikan kepastian peserta yang mengikuti kegiatan tersebut serta membahas teknis keberangkatannya. Saat itu baru aku yakin mimpiku tangkil ke Pura Gunung Salak menjadi Kenyataan.
Rabu, 26 Mei 2010, aku bersama rombongan DPD KNPI Kabupaten Jembrana berangkat dari depan Kantor Bupati Jembrana mengendarai 2 buah Bis Jimbarwana Transport menuju ke Pura Gunung Salak. Tepat jam 17.30 Wita tanggal 27 Mei 2010 rombongan tiba di Pura Gunung Salak. Kami Istirahat sejenak dan Mandi untuk persiapan ngaturang bakti. Bulan Purnama mulai menampakkan diri menerangi kami melakukan persembahyangan. Meskipun terasa agak remang, aku masih bisa merasakan betapa tenangnya, damainya suasana di Pura Gunung Salak. Lingkungan yang asri seakan menambah kedamaian suasana Pura sehingga kamipun dapat melakukan persembahyangan dengan khusuk dipimpin oleh pinandita setempat.
Demikianlah akhirnya impianku malam ini menjadi kenyataan. Dan kesempatan ini aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk bermeditasi dan berdiskusi seputar pengetahuan kerohanian sambil menikmati indahnya pancaran bulan purnama.
Sekedar menambah pengetahuan terkait Pura Gunung Salak ini, dibawah ini ada sekilas info dari Humas pengelola Pura Gunung Salak.
Sejarah Pembangunan
Berawal dari munculnya perasaan tenang dan hening ketika berada di tengah alam bebas Gunung Salak, muncul keinginan kelompok umat Hindu untuk membangun sebuah pelinggih sederhana, sebagai focus konsentrasi pikiran. Keinginan tersebut mendapat sambutan dari berbagai pihak, sehingga kemudian berkembang kearah pembangunan sebuah Pura besar.
Pada Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, Raja Termasyur dan sangat dipuja. Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Pemerintahan beliau dengan sesanti : “Tata Tentram Kerja Raharja”, telah membawa jaman keemasan bagi Padjadjaran, kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan kepada penghormatan ajaran leluhur “Sanghyang Dharma dan Sanghyang Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama masa pemerintahan beliau tahun 1482 -1521, dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535. Semua ini tertera pada prasasti batu bertulis di jalan batu tulis Bogor, yang dibuat Tahun Saka 1455 atau 1533 SM.
Selama proses pembangunan, untuk sementara pura disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga tahun 2005, atas partisifasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga, panitia berhasil menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama mandala berupa Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale Reringgitan, Bale Panjang dan Panggunan. Demikian juga pelinggih Betari Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara, untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya dan Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung yadnya maupun operasional pura selanjutnya.
Paruman Sulinggih
Hari minggu, 11 Juni 2005 disebelah kiri belakang padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih. Beliau adalah para sulinggih yang tinggal menetap di Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan Jakarta termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama.
Pertama, pura yang telah dibangun disepakati dengan nama “Parahyangan Agung Jagat Karta”. Ini diambil dari philosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta, (lontar Widhi Sastra Catur Yugo-Griya Aan Klungkung), Jawa Barat semasa pemerintahan raja-raja Siliwangi khususnya (tabe pakulun) Prabhu Sri Baduga Maharaja; agama Veda (Hindu) adalah agama kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat adalah tempat pertama masuknmya ajaran Veda/agama Hindu di Pulau Jawa. Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selanjutnya terus ke Bali. Untuk Jawa Timur juga ada penyebaran Ajaran Veda/Agama Hindu langsung dari India yang terjadi pada kurun waktu berikutnya. Dikaitkan dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng Gunung Salak, dimana didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang Prabhu Siliwangi Shri Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat Kartta”. Wilayah tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan sekaligus kecamatan Tamansari di lereng Gunung Salak. Kemudian kata “Tamansari gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat dengan nama pura, sehingga secara lengkap disebut sebagai “PARAHYANGAN AGUNG JAGAT KARTTA TAMANSARI GUNUNG SALAK”.
Parahyangan berarti tempat Sanghyang Widhi;
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.
Ngenteg Linggih dan Piodalan/Pujawali Pura.
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik, disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yanitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005. Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dair Griya Aan, Klungkung, Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.
Semoga informasi ini ada manfaatnya
Rabu, 26 Mei 2010, aku bersama rombongan DPD KNPI Kabupaten Jembrana berangkat dari depan Kantor Bupati Jembrana mengendarai 2 buah Bis Jimbarwana Transport menuju ke Pura Gunung Salak. Tepat jam 17.30 Wita tanggal 27 Mei 2010 rombongan tiba di Pura Gunung Salak. Kami Istirahat sejenak dan Mandi untuk persiapan ngaturang bakti. Bulan Purnama mulai menampakkan diri menerangi kami melakukan persembahyangan. Meskipun terasa agak remang, aku masih bisa merasakan betapa tenangnya, damainya suasana di Pura Gunung Salak. Lingkungan yang asri seakan menambah kedamaian suasana Pura sehingga kamipun dapat melakukan persembahyangan dengan khusuk dipimpin oleh pinandita setempat.
Demikianlah akhirnya impianku malam ini menjadi kenyataan. Dan kesempatan ini aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk bermeditasi dan berdiskusi seputar pengetahuan kerohanian sambil menikmati indahnya pancaran bulan purnama.
Sekedar menambah pengetahuan terkait Pura Gunung Salak ini, dibawah ini ada sekilas info dari Humas pengelola Pura Gunung Salak.
Sejarah Pembangunan
Berawal dari munculnya perasaan tenang dan hening ketika berada di tengah alam bebas Gunung Salak, muncul keinginan kelompok umat Hindu untuk membangun sebuah pelinggih sederhana, sebagai focus konsentrasi pikiran. Keinginan tersebut mendapat sambutan dari berbagai pihak, sehingga kemudian berkembang kearah pembangunan sebuah Pura besar.
Pada Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, Raja Termasyur dan sangat dipuja. Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Pemerintahan beliau dengan sesanti : “Tata Tentram Kerja Raharja”, telah membawa jaman keemasan bagi Padjadjaran, kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan kepada penghormatan ajaran leluhur “Sanghyang Dharma dan Sanghyang Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama masa pemerintahan beliau tahun 1482 -1521, dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535. Semua ini tertera pada prasasti batu bertulis di jalan batu tulis Bogor, yang dibuat Tahun Saka 1455 atau 1533 SM.
Selama proses pembangunan, untuk sementara pura disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga tahun 2005, atas partisifasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga, panitia berhasil menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama mandala berupa Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale Reringgitan, Bale Panjang dan Panggunan. Demikian juga pelinggih Betari Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara, untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya dan Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung yadnya maupun operasional pura selanjutnya.
Paruman Sulinggih
Hari minggu, 11 Juni 2005 disebelah kiri belakang padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih. Beliau adalah para sulinggih yang tinggal menetap di Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan Jakarta termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama.
Pertama, pura yang telah dibangun disepakati dengan nama “Parahyangan Agung Jagat Karta”. Ini diambil dari philosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta, (lontar Widhi Sastra Catur Yugo-Griya Aan Klungkung), Jawa Barat semasa pemerintahan raja-raja Siliwangi khususnya (tabe pakulun) Prabhu Sri Baduga Maharaja; agama Veda (Hindu) adalah agama kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat adalah tempat pertama masuknmya ajaran Veda/agama Hindu di Pulau Jawa. Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selanjutnya terus ke Bali. Untuk Jawa Timur juga ada penyebaran Ajaran Veda/Agama Hindu langsung dari India yang terjadi pada kurun waktu berikutnya. Dikaitkan dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng Gunung Salak, dimana didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang Prabhu Siliwangi Shri Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat Kartta”. Wilayah tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan sekaligus kecamatan Tamansari di lereng Gunung Salak. Kemudian kata “Tamansari gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat dengan nama pura, sehingga secara lengkap disebut sebagai “PARAHYANGAN AGUNG JAGAT KARTTA TAMANSARI GUNUNG SALAK”.
Parahyangan berarti tempat Sanghyang Widhi;
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.
Ngenteg Linggih dan Piodalan/Pujawali Pura.
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik, disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yanitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005. Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dair Griya Aan, Klungkung, Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.
Semoga informasi ini ada manfaatnya
1 komentar:
Suksme atas info-nya tentang Pura "Parahyangan Agung Jagat Karta Tamansari Gunung Salak" dan bersyukurlah pak Km sudah kesampaian niatnya. Saya juga pingin tirta yatra ke sana tapi sampai saat ini rupanya Hyang Widhi belum mengijinkannya.
Posting Komentar