12 Oktober 2010

Jro Mangku Menggugat

I. PEMILIHAN PEMANGKU YANG BIKIN GUNDAH
Tulisan berseri Jro Mangku Menggugat ini mencoba mengangkat realitas praktek keagamaan di Bali. Terutama bagaimana dilema seorang Pemangku yang dituntut sebagaimana fungsinya dan dipihak lain harus berpijak pada realitas kehidupan sehari-hari. Demikian juga kebingungan seorang Pemangku tentang apa yang dipraktekkannya, dianjurkannya kepada orang lain yang banyak tidak diketahui tujuan dan maksudnya. Marilah kita mempertanyakan kebingungan kita sehingga pikiran kita bekerja mencari jawaban dari pertanyaan itu.
Tiba hari yang ditunggu-tunggu semua karma adat Desa Adat Nyidangsari (bukan nama sesungguhnya). Suatu hari penting dari keseluruhan rangkaian perjuangan untuk mewujudkan satu identitas yang disebut Desa Adat. Sebelumnya jumlah masyarakat yang kini membentuk suatu kedaulatan adat baru dengan nama Desa Adat Nyidangsari bergabung dengan Desa Adat Dadisari. Akibat jumlah anggota Desa Adat terlalu banyak dan kampong mereka agak jauh letaknya dengan khayangan tiga sebagai pilar Desa Adat, maka sekitar seratus Kepala Keluarga mendeklarasikan Desa Adat baru yang terpisah dengan induk lama. Resikonya sudah jelas, mereka harus membangung Khayangan Tiga baru, beli gambelan gong baru, membuat awig-awig baru dan tidak lupa memilih pemangku pura yang baru. Karena Desa Adat baru, warga Nyidangsari mengambil langkah bertahap, yaitu Khayangan Tiga dibangun sederhana saja dulu dan gamelan gong pengadaannya ditunda juga. Namun hari ini adalah hari pemelaspasan Pura Dalem bersamaan dengan diadakannya pemilihan Pemangku Pura Dalem.
Sudah biasa, untuk urusan begini orang Bali akan berkelit, jika ditunjuk secara personal atau system pilih meilih agalagi dengan system tunjuk. Orang yang ditunjuk dicalonkan sebagai pemangku – meski punya potensi kemampuan untuk itu – akan berkelit dengan alas an macam-macam. Ada yang beralasan mengaku sing nawan sastra (tidak tahu sastra), sing bisa ngerangsukang, sibuk, sing ada pewisik, takut kepongoran yen ten kesenengin ring Ida Bhatara. Itulah sebagian alas an yang muncul, mengapa akhirnya Krama Desa Adat Nyidangsari menempuh jalan terobosan. Bagaimanapun Pemangku Pura harus ada, maka mereka bersepakat untuk melakukan upacara Nuwur. Nuwur Pemangku adalah prosesi penunjukan Pemangku yang dilakukan oleh Balian Taksu, dimana Balian Taksu tersebut akan mengundang wangsit-ilham gaib Ida Bhatara untuk menunjuk Pemangku Pura. Nah, menegangkan bukan ? sebab, siapa pun berpeluang mendapat mandate dan siapa pun nanti terpilih tidak boleh menolak, entah yang bersangkutan sibuk sebagai pegawai Negeri, anak sekolahan, Guide atau profesi lainnya. Tapi yang jelas tidak bisa ditampik atau harus diterima. Itulah keputusan rapat yang telah disepakati dan berkekuatan hukum tetap (menurut awig-awig).
Sudah pukul 08.00 Wita pagi. Nang Kocong tampak kerepotan mengurus lima ekor ayam jago peliharaannya yang termanjakan dalam kurungan bamboo. Nang Kocong menjemurnya dihalaman rumah sembari member serbuk jagung giling. Belum juga sempat mandi sekembali dari lading mengurus dua ekor ternak sapinya. Karena ayam jagonya sudah unjuk rasa. Kini belum apa-apa, kulkul sudah berbunyi pertanda karma banjar siap ngayah ke Pura Dalem. Nang Kocong tidak begitu hirau dengan momen ini, baginya hadir pada acaraNuwur semata-mata menghindari kesepekang (kutang banjar) kelak. Soal siapa jadi pemangku, no problem. Dalam bayangannya sudah meloncat tiga hari mendatang dimana akan diadakan tajen besar di Pura Dalem. Sebagai rangkaian perlengkapan ritual (begitu alas an kuat yang sejak dulu dimanfaatkan dengan baik oleh para penjudi biar tidak diberangus aparat). Ini baru membuatnya gairah membara, yaitu festival local warisan leluhur yang patut dilestarikan.
Dengan tergesa-gesa sarapan seadanya Nang Kocong pun bergegas menuju Pura Dalem. Ternyata Krama Adat sudah ramai dan Ida Pedanda stanbay di Jeroan, sedangkan Jro Balian Taksu juga tampak sudah tiba. Nang Kocong melongok dari luar mendongakkan kepalanya diatas tembok pura ingin melihat wajah-wajah orang hebat yang memimpin upacara. Harum wangi dupa pemujaan menebar kemana-mana diiringi gamelan gong mededale yang diupah dari desa tetangga mengiringi prosesi pemelaspasan agung Pura Dalem. Bagi Nang Kocong semuanya terkesan meriah. Wah mewah. Mengapa ?
Mewah karena ada bebangkit babi guling dan krama adat juga khusus menyembelih bagi untuk persediaan konsumsi bagi pengayah. Selain kemeriahan dan kemewahan itu Nang Kocong tidak komentar “maaf tiang awam, tiang awam masalah ini,” ujarnya berkali-kali ketika temannya mengajaknya bercakap-cakap seputar ritual yang berlangsung.
Setelah tiga jam berlangsung upacara pemelaspas usai. Ida Pedanda pemimpin puja berkenan mengaso/istirahat karena oleh panitia, acara dilanjutkan dengan acara memilih pemangku alias Nuwur. Nah acara ini sungguh membikin jantung Krama Adat deg-degan. Baik yang ambisi jadi Pemangku maupun yang malahan takut kena tunjuk sama-sama cemas. Yang berambisi cemas tidak mendapat penunjukan secara gaib, sedangkan yang menghindari tugas ini khawatir kalau carang dapdap yang dipegang Jro Balian Taksu mengepluk kepalanya. Lantas bagaimana lagi menghindar ?
Krama Desa Adat Nyidangsari duduk rapi dijaba pura. Yang laki bersila dan kaum perempuan bersimpuh. Atur piuning di pelinggih Ida Bhatara Dalem sudah dilansungkan memohon petunjuk sidi suci. Sementara di jaba pura telah disediakan panggung banten perlengkapan. Seke gong kembali menabuh gambelan mengiringi khusuk ritual Jro Balian mesesontreng rafal mantra. Sambil menari melambai-lambaikan carang pohon dapdap ditangan kanan. Jro Balian mulai mengitari Krama Desa Adat. Rupa-rupanya sudah kelinggihan Ida Bhatara. Matanya terpejam, tangan kiri memegang api pasepan. Wah hebat tidak tabrakan atau menabrak orang meski mata terpejam. Nang Kocong terkagum dalam hati sambil menikmati adegan langka yang menurutnya mirip ketrampilan seorang akrobator.
Setelah berkeliling kesana-kemari, akhirnya Jro Balian Taksu melintas juga dekat tempat duduk per lluNang Kocong, Menakjubkan, tanpa diduga Nang Kocong mendapat keplukan istimewa di kepalanya dari Jro Balian.
Sontak seluruh mata tertuju pada dirinya. Ada warga terperanggah, masak Nang Kocong yang tidak peduli dengan aktivitas keagamaan malahan lebih hobi metajen dan prilaku sehari-harinya yah…..biasa-biasa saja seperti orang kebanyakan yang bergumul banyak noda, tiba-tiba didaulat secara gaib jadi Pemangku Dalem. Ada yang kecewa, tetapi banyak juga yang diam mengamati dan melihat dengan tenang kejadian selanjutnya. Jro Balian lantas bersabda (sabda dari taksu yang merangsuki dirinya).
“Hai Nang Kocong, cening sane katuduh madeg Pemangku di Parahyangan Dalem” Nang Kocong tiba-tiba menggigil, gugup, kaget super luar biasa, sebab dia tidak mempersiapkan angan-angannya sebelumnya, akan mengalami hal ini. Ia menduga sebelumnya, pastilah yang akan ditunjuk Wayang Dul yang Sarjana Agama Hindu atau Pan Nyak yang gemar koleksi lontar gemar juga mekidung, juga hobi nutur setiap obrolan sambil ngelilit sate di rumah orang melakukan upacara yadnya. Kalau tidak keduanya, pastilah bukan dirinya ditunjuk, sebab Nang Kocong tahu diri merasa tidak berpotensi tidak memiliki tingkat rohani lebih. Eh kok kini dirinya merasa diplonco habis-habisan hingga pucat pasi wajahnya.
Jro Balian Taksu berujar lagi “ Kengken Nang Kocong, dadi meneng tan kita?” Beberapa pengabih atau pembantu Ida Pedanda yang terdiri dari pemangku yang sengaja diundang untuk memperlancar ritual ini segera menghampiri Nang Kocong. “Matur-matur nae Nang Kocong, orahang tiang ngiring,” membisiki Nang Kocong yang seperti bego overdosis ectasy. Keringat dingin meleleh, membasahi sekujur tubuh lelaki berusia 50-an tahun ini.
Dengan terbata-bata keluar juga kata-kata dari bibirnya. “Nawegang tiang tatiang tn nawstra, ang suninan g, tiang belog, tiang demen metajen, tiang demen memitra (yang ini diucapkan dalam hatinya saja), tiang tan bani tulah….” Intinya Nang Kocong menolak dan merasa rikuh menerima mandat luhur ini.
Plak, sebuah pukulan, carang dapdap mendera sekali lagi kepalanya. Jro Balian berujar : “tahukah engkau, dirimu ditunjuk supaya engkau bertobat dari semua perbuatan sia-sia mu. Sekarang memang cening bodoh tidak hirau ajaran Ketuhanan, namun pada kelahiran sebelumnya cening adalah orang terpelajar dan pemuja setia dari Dewa Siwa. Tidak ada alasan bagi cening berkelit apalagi dengan alasan macam-macam”.
“ampunkan hamba ratu bhatara, tiang hidup di hari mangkin, di jaman ini pada kelahiran ini. Mustahil bagi tiang menggunakan kepintaran pada kelahiran dahulu untuk hidup pada kelahiran sekarang. Saya tidak mengerti karma, yang tiang mengerti adalah seorang petani plus penjudi kecil-kecilan. Tiang tidak sanggup kembali pada kelahiran masa lalu, tetapi hidup masa kini. Takdir tiang sebagai petani dan tiang senang melakoninya, tiang suka bekerja keras bukan membaca lontar, ampun-ampun”. Sungguh sebuah pengakuan yang diucapkan sangat polos.
Beberapa prajuru desa menghampiri Nang Kocong sambil berbisik di telinganya “kengken mekeneh nolak dadi mangku nih, dot kutang banjar?” Nang Kocong terkesiap, kepalanya yang sedari tadi menunduk kini tengadah dan entah dari mana datangnya energy itu lantas dia berujar : “Inggih tiang ngiring ratu !”
Ancaman kutang banjar bukan main ganasnya, mau kemana lagi dirinya nanti kalau rencana itu direalisasikan. Belum Nang Kocong menjual dua ekor sapi untuk urunan bangunan pura, kalau harus dipecat apa ada banjar lain yang mau menerimanya. Dengan menahan sejumput rasa pongah, mandate luhur ini diterimanya, meski sejumlah unek-unek kekagetan, shock dan sebagainya masih menyesak dadanya. Apa boleh buat sudah keputusan gaib, keputusan Ida Bhatara.
Akhirnya Nang Kocong bersama istrinya Men Kocong di Dwijati sebagai Pemangku Pura Dalem oleh Ida Pedanda. Sekarang mereka bergelar Jro Mangku Lanang dan jro Mangku Istri Parahyangan Dalem. Upacara yang menelan waktu panjang hingga lewat tengah hari membuat Nang Kocong resah. Teringat sapinya yang belum minum siang dan rumputnya pasti sudah habis. “hari ini aku menyiksa ternakku”, pikirnya. Apalagi sebagai sang tapa yang baru di-dwijati tidak boleh pulang selama tiga hari, karena harus merenungkan diri di pura siang malam. Celingak-celinguk ia memanggil anaknya yang masih SMU untuk memperhatikan sapinya dan beberapa ekor ayam jagonya. Siapa menduga akan memperoleh jabatan dan status baru. Selama tiga hari melakukan tapa di pura, selama itu ia bingung. Bagaimanakah hari-hari selanjutnya. Belajar memantra, ngaturang banten ngaturang caru, aduh pusiiiiing……………..

II. MANGKU BARU YANG MULAI GUGUP
SEBAGAI PEMANGKU BARU, Nang Kocong menyadari dirinya sarat beban. Tapi bagaimana pun dirinya telah resmi menjadi panglima dari upacara-upacara di Pura sekaligus menjadi sibul seorang bakta, damuh Ida Bhatara yang bakti. Atas sokongan dan motivasi dari seluruh warga mulailah ia belajar sesana kepemangkuan.
Berhubung ia masih bertanggungjawab sebagai kepala rumah tangga dengan segala urusannya, jelas mangku Kocong tidak banyak punya waktu untuk konsentrasi belajar. Siang hari sejumlah jadwal berderet, mulai ke sawah, memelihara ternak, sekali-kali bekerja sebagai buruh bangunan harus ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi ia tidak belajar secara formal kepada seorang Nabe Pandita, melainkan bertanya kesana kemari kepada para pemangku yang lebih senior.
Namanya juga orang awam, apa yang harus ditanyakan dan tema apa yang lebih penting untuk dipelajari terlebih dahulu ia juga tidak paham. Belajar dari melihat kebiasaan pemangku sehari-hari, maka Mangku Kocong pun mulai belajar tentang urutan-urutan ngaturang banten piodalan beserta mantranya. Wajar juga hal itu dijadikannya menu utama belajar, sebab dalam piodalan enam bulan mendatang warga berharap Mangku Kocong sudah bisa mandiri memimpin upacara ritual, bakan lagi didampingi rohaniawan lain.
“Sebagai pemangku kita hendaknya bersih dan suci lahir batin”, ungkap seorang pemangku senior, tempat Mangku Kocong bertanya.
“Bagaimana caranya ?”, Tanya Mangku Kocong.
“Pertama Mangku Kocong harus memiliki kebiasaan bersih di badan, termasuk pakaian yang bersih, juga rambut dipelihara dan dirawat. Setelah itu, mulailah berdisiplin sembahyang (mebakti) secara teratur supaya pikira terjaga kesuciannya. Kata-kata dan juga perbuatan juga dijaga supaya tidak ngelantur”, saran Mangku yang lebih senior.
“Pang kuda tiang patutne mebakti, apa sebilang purnama-tilem?” Tanya Mangku Kocong sedikit rewel.
“Ooo…tidak, semakin sering mebakti semakin baik asal Mangku Kocong tidak lupa mengerjakan kewajiban sehari-hari. Mebakti artinya eling kepada Ida Sanghyang Widhi, jadi semakin sering sembahyang tambah semakin ingat khan bagus”, imbuhnya.
Mangku Kocong manggut-manggut, tak jelas apa mengerti atau bingung. Buru-buru ia bertanya tata cara ngilenang banten pengodalan.
Seniornya menjelaskan panjang lebar dan untuk mantra dan sebagainya Mangku Kocong dipinjami sebuah buku mantra panca sembah dan mantra pengodalan.
Hari-hari berikutnya Mangku Kocong sibuk belajar menghapal mantra. Malam hari belajar memantra, siang sambil nyabit rumput juga komat-kamit menghafal mantra Tri Sandhya dan mantra lainnya. Penat juga ia rasakan kepalanya, tumben-tumbennya otaknya dipaksa kerja ekstra. Untuk menghilangkan stress-nya, lantas sore-sore Mangku Kocong iseng nimbrung di warung kopi sambil meceki menghibur diri.
Sampunapi Jro Mangku suba nyak hafal mantrane ? Tanya warga lain sambil menggenggam kartu sekian mengitari meja. Cengar cengir temannya yang bertanya itu karena tiada lain adalah kawannya yang dulu biasa mengajak pergi metajen.
“De ngejek, sirah tiang hamper puyeng belajar memantra”, jawab Mangku Kocong terkekeh.
“Jangan terlalu diporsir, bertahap dulu. Nanti kalau belum hafat khan bisa bawa cakepan (buku). Lama-lama akan lancer juga, makin sering dipraktekkan kan makin mahir”, sahut yang lainnya.
Mangku Kocong mangut-mangut. Pemangku senior juga bilang semakin sering semakin baik. Ayam jagonya juga dulu bila semakin sering dilatih duel hasilnya semakin lincah, gesit dan tangguh. Ternyata itu maknanya makin sering jadi baik.
Setelah beberapa bulan berlalu, tibalah hari piodalan di Pura Dalem. Mangku Kocong sudah hadir di Pura, jelas dengan atribut kepemangkuan, udeng maprucut putih dan pakaian serba putih lengkap dengan gandek berisi genta, salinan mantra dan perlengkapan lain. Tampil pertama sebagai pemangku dalam dinas resmi jelas Mangku Kocong gugup dan kikuk. Namun begitu upacara berjalan tahap demi tahap berjalan lancer, berkat bantuan kaum perempuan yang sudah biasa ngilenang banten sebagai pendamping pemangku sebelumnya. Akhirnya sampailah pada acara persembahyangan bersama. Krama Desa masuk ke dalam pura, sehingga jadi penuh sesak. Mangku Kocong yang sedari tadi dengan senang dan lancer menjalankan tugas kepemangkuannya mulai gugup. Maklum banyak pasang mata menonton aksi perdananya, termasuk urusan tetek bengek bagaimana Mangku Kocong memegang dan nguyeng genta diperhatikan seksama oleh warga. Wajah Mangku kocong memerah, tangannya mulai gemetaran dan semua mantra yang dipelajarinya terbang entah kemana, lenyap dari ingatan. Mangku Kocong mulai dengan ngastawa puja. Genta berdenting, matanya terpejam dan hanya mulut komat-kamit. Entah bagaimana ceritanya pada satu penggalan mantra Genta Mangku Kocong lepas dari genggaman dan sungguh aneh, lucu, mustahil dan ajaib. Gentanya terlempar ke depan dan tentu saja mengenai warga yang duduk hening.
Pelipis Wayan Gedeh tertimpa Genta, dan karuan saja semua warga berderai tawa, terpingkal-pingkal. Sekaa kidung wargasari yang dari tadi melantunkan kidung dengan indahnya mendadak buyar sampai ada berbangkis-bangkis menahan tawa. Namun disudut lain beberapa orang berbisik, “lihat tuh Mangku Kocong mulai menampakkan taksu”. Bukankah Wayan Gedeh sebagai Ketua Panitia Pembangunan Pura diisukan korupsi, rupanya ini wangsit Ida Bhatara. Wah luar biasa”, decak kagum beberapa orang.
Sementara dibagian baris depan orang mengembalikan Genta Sakti Mangku Kocong, wajah Mangku Kocong yang sejak tadi memerah kini mulai membiru saking gugupnya. Buru-buru Mangku Kocong mengomando untuk melakukan Puja Tri Sandya bersama. Suasana mulai teredam dari tawa, sehingga Gayatri Mantram mulai dilantunkan dengan khitmat. Bait demi bait mantra Tri Sandya mengalun hening. Suara Mangku Kocong begitu keren terdengar di pengeras suara, tidak kalah dengan nada suara Pura Tri Sandya di televise dengan suara ngebas. Sayangnya menjelang menginjak mantra bait kelima, Mangku Kocong mendadak lupa. Yang terdengar dipengeras suara adalah Om… Om…. Om…. Dan dengan tiada dinyana Mangku Kocong berucap pada sutra istri : “Luh benahin bantene to nagih ulung uli pelinggihe”.
Sesungguhnya tidak ada banten mau jatuh, itu sekedar akal-akalan saja, sehingga Mangku Kocong melewati mantra bait kelima yang dilupakannya itu dan langsung tancap bait keenam. Om Ksantawyah Kayiko dosa………. Beberapa anak sekolah dan warga yang hafal mantra Tri Sandya jadi buka mata, toleh kanan, toleh kiri kepada temannya lantas tertawa cekikikan dengan tertahan. “Ken-ken ne?” bisik seorang warga. Yang duduk disampingnya juga nyahut berisik, “Kangguang Mangku anyar, harap maklum”.
Selesai melaksanakan puja Tri Sandya Mangku Kocong memimpin persembahyangan kramaning sembah. Syukur kali ini tidak ada insiden. Usai melaksanakan Panca Sembah, Mangku Kocong memerintahkan para Sutri untuk menyiratkan tirta suci anugrah Ida Bhatara. Seperti biasa sebelum disiratkan kepada umat, tirta disiratkan dulu kepada pelinggih (atas) dan ke bawah. Seorang Sutri baru, bertanya kepada Mangku Kocong. “Jro Mangku berapa kali tiang harus siratkan ke atas dan kebawah ?” Mangku Kocong terkesiap, karena aturan itu tidak pernah ia tanyakan kepada para senior dan juga tidak menanyakan apa maksudnya menyiratkan tirta ke pelinggih dank e bawah dengan hitungan tertentu. Mangku Kocong lama terdiam, kemudian diingat-ingatnya pesan senior tempatnya belajar bahwa semakin banyak sembahyang makin baik asal tidak melupakan kewajiban sehari-hari. Temannya juga pernah menasehatinya dalam belajar mantra, bahwa semakin sering dipraktekkan semakin baik hasilnya. Mangku Kocong berkesimpulan bahwa semakin banyak atau sering semakin baik. Segeralah ia berujar kepada Sutri,”Ketisang beduur pang satus pelekutus (118) dan beten ping telung dasa telu (33)”, perintahnya. Mangku Kocong terinspirasi jumlah itu oleh 108 (mantra). Ibunya dulu saat natabang banten otonan. Matuptupan buka satus pelekutus. Sedang jumlah 33 kali ke bawah, ya… itung-itung olah raga. Serba salah para Sutri menolak atau protes takut, soalnya Jro Mangku Kocong sedang melinggih (melakukan otoritas kepemangkuan). Ya.. terpaksa menuruti aturan aneh ini dengan senyum.

III. MENGIMING-IMINGI IDA BHATARA, JUKUT ARES UENAAK
Tuntas dan bubarlah persembahyangan yang dipimpin Jro Mangku Kocong dengan sedikit kejutan. Beberapa ibu-ibu mengambil banten aturannya untuk dibawa pulang dan canangnya dihaturkan di kemulan. Hanya gebogan dan benten gede yang masih di pura menunggu piodalan lebar. Ada apa selanjutnya ?
Mendadak seorang ibu rebut di jaba pura ibarat orang kecopetan di pasar.
“Aduh uang saya seratus ribu yang dipakai aturan (persembahyangan) lenyap dari tempatnya”, ratapnya berulang kali. Sekedar ilustrasi, ibu-ibu membawa aturan dalam sokasi (sejenis keranjang anyaman bamboo berbentuk kotak) berisi canang, jajan apem, bantal, apel merah ditengahnya ayam panggang. Nah, uang seratus ribu ditancapkan ditengah-tengah banten terjepit belahan bamboo. Saat nyurud (mengambil), tutupnya dipasang kembali, eh.. uangnya telah raib.
Bendesa Adat masuk ke jeroan mengajak pecalang, siapa tahu uang itu jatuh. Beberapa Sutri yang kebagian mengurusi banten jadi sorotan warga. “Wah ada Sutri gudip, nyemak pis aturan”, celetuk salah seorang warga. Suasana jadi gaduh, saling mencurigai, malahan pemangku istri juga disorot diam-diam. Mangku Kocong marah. Lantas memanggil Bendesa Adat dan Ibu yang kehilangan itu. “He ibu, naruh uang seratus ribu itu untuk persembahan nggih ? Sajake keneh ibu maturan”, ujar Mangku Kocong.
“Aduh punapi Jro Mangku niki, masak tiang guyu-guyu”, sahutnya dengan sedikit menjerit.
“Meen, yan suba pipise lakar aturang ring Ida Bhatara, jani mara ilang dadi paling. Dot ibune kengken, maturan apa ngewehweh Ida Bhatara (mengiming-imingi saja, tidak member),” Tanya Mangku Kocong.
Jro Mangku Kocong berujar lagi, “Saya tidak mengambil lagi kesempatan sebagai pemangku dengan nyopet uang aturan Ida Dane. Mungkin saja uang itu jatuh, hilang karena terselip diaturan milik semeton lain akibat tidak sengaja. Namun yang penting disini, ibu tidak usah pameran uang, kekayaan di hadapan Ida Bhatara kalau maksudnya Cuma diperlihatkan kepada orang-orang supaya dipandang wah, mewah, bakti,” ujarnya. Aturan itu artinya, lanjutnya, segala sesuatu yang dipersembahkan, diserahkan dengan iklas, tidak diminta lagi. Itu pamer saja namanya, tambah Jro Mangku Kocong.
Ibu yang kehilangan itu jadi malu mendengar ucapan Mangku Kocong.
Namun, ketika sekali lagi ditelitinya isi sok kasinya, eh…uang seratus ribu terselip antara sela paha ayam panggang. Kontan ia melengos pergi sebelum kekonyolan itu diketahui orang banyak.
Jro Mangku Kocong berkenan duduk ditempatnya sambil membenahi ikatan destarnya, dan lantas memanggil Bendesa Adat.
“Tolong carikan saya pil obat sakit kepala, pinta Mangku Kocong sembari memijit kepala serta mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung.
“Kenapa Jro Mangku, pilek ya..? Tanya Bendesa Adat sambil memanggil Pecalang untuk segera membelikan tablet sakit kepala di warung.
“Aduh, pening kepalaku dan perutku agak mual mencium aroma banten yang apek, masem, piing. Pidan ketanding bantene to,, dadi oongan jajane lan bungane layu”, keluh Mangku Kocong.
“Baru dua hari lalu Jro Mangku, kan sudah biasa begitu,” ujar salah seorang pemedek.
“Aduh, kalau Jro Bendesa dikasi mencicipi jajan yang ditumbuhi cendawan itu mau nggak,” timpal Mangku Kocong.
Mendengar perkataan seperti itu, Jro Bendesa langsung melengos dan mukanya bersemu merah.
“Beh, kuangan gae,” balasnya.
“Yen keto, dadi aturang ajak Dewane, berarti Dewane ento kasaran teken Jro Bendesa ha..ha..ha..papar Mangku Kocong setengah berteriak, seperti tak mampu menahan ketawanya yang dian mengeras.
Jro Bendesa gelagapan, otaknya berputar cepat, apagi sebagai seorang sarjana hukum yang piawai membolak balik kata-kata.
“Bukan begitu Jro Mangku, banten itu kan hanya simbolisasi saja, jadi tidak usah dinilai dari sisi enak atau tidak enak secara duniawi”, tampik Jro Bendesa, mulai debat kecil di dalam Pura.
“Oooo…..maksudnya simbul dari sikap ogah-ogahan dari kita, pang kewala ngae banten, pang kewala misi gen jaja, nyak piing nyak mangkres. Artine untuk dihaturkan kepada Ida Bhatara boleh ala kadarnya, tetapi Jro Bendesa lihat dibelakang, suguhan konsumsi untuk krama, lawar, sate celeng enak, jukut ares jaen pesan. Saya bukannya sok mengerti hal begini apalagi saya mangku baru yang kebingungan. Tetapi rasanya kok saudara-saudara kita begitu semangat membuat makanan untuk perut mereka sendiri, sementara semua banten rata-rata menebarkan aroma piing gading, “ kritiknya.
Jro Bendesa membelai kumisnya yang rapi. “Wah, yen kenten patut rawos Jro Mangku, benjang-benjangan tiang jagi ngarembugan wicara puniki, manda kemanahin antuk krama duwe,”Ujar Jro Bendesa.

IV. JAM DINAS TAK BISA DIGANGGU GUGAT
Mangku Kocong ternyata bodoh-bodoh pintar, paling tidak untuk hal-hal yang prinsipil ia berani bersikap jujur dan vocal. Seperti halnya peraturan yang dikeluarkannya terakhir kali, bahwa untuk acara ngerainin, ngaturang banten pada hari-hari seperti Purnama, Tilem, Tumpek, Sugihan, Galungan dan sebagainya diatur ketat.
Dengan tegas Mangku Kocong menyatakan dirinya hanya buka praktek di Pura tidak lebih dari dua jam, mulai pukul 10.00 s/d 12.00 Wita. Selama dua jam penuh ia akan melayani umat dengan baik, tetapi diluar jam itu, Jro Mangku melakukan kewajiban lain seperti ke sawah, nyabit rumput, melali ketajen dan sebagainya.
Pada suatu hari, bertepatan dengan Tumpek Bubuh, kaum ibu berduyun-duyun menghaturkan sesaji ke Pura Dalem setelah melakukan acara mebanten di rumah dan ladang masing-masing. Berkat aturan Mangku Kocong, krama jadi datang serempak, sehingga pelayanan menjadi efisien. Ketika pulang semua kaum ibu menyisihkan satu dua bungkus bubuh untuk Mangku. Ini semacam daksina atau honor bagi Mangku. Namun dengan halus Mangku berucap, “Ibu-Ibu tolong bubuh anda dibawa saja pulang, karena terlalu banyak, saya tidak akan habis memakannya, akibatnya lanjut Mangku Kocong, pastilah sepihan (punia bubuh) anda akan saya kasi makan kucit, kan saya berdosa?!”
Saya membuang pemberian baik anda, meski kucit juga perlu makan, tetapi maksud anda memberikan saya kan bukan untuk diberikan celeng, ujarnya.
Ibu-ibu pada ketawa mendengar omongan Mangku Kocong sembari berucap, “akh biarin saja, terserah Jro Mangku!”. Mangku Kocong tetap pada pendiriannya agar bubuh yang diberikan itu dibawa pulang. Kali ini ibu-ibu hanya menyisihkan sarin canang yang jumlahnya ada lima ratusan, seribuan, bahkan seratusan rupiah untuk punia kepada Mangku.
Suatu hari lewat pukul 12.00 Wita, Mangku Kocong pulang karena jam dinasnya sudah habis. Namun tiba-tiba diperjalanan pulang sekitar lima ratus meter dari pura tersebut sebuah sedan mengkilap berhenti disampingnya. Kepala botak berudeng batik nyembul dari jendela mobil langsung menyapa, “Jro Mangku, sebentar jangan pulang dulu, kami mau maturan juga,” ujar lelaki itu didampingi istrinya.
oo… Pak Gede Bloko, kirain siapa, silakan Bapak haturkan sendiri bantennya di Pura, tidak apa-apa, sekarang saya mau pulang mungkin sapi saya sudah kelaparan di kandangnya,”ujar Mangku Kocong tersenyum ramah. Pak Gede Bloko turun dari mobil sambil memegang handphone yang suaranya seperti jangkrik. Pak Bloko seperti tak puas dan memanggilnya lagi. “Wah gimana ini Jro Mangku, kok saya tidak mau diladeni, tanyanya. Mangku Kocong balik menjawab dengan nada datar. “Khan sudah disepakati jam maturan antara pukul 10.00 s/d 12.00 saja,” tegasnya.
“Beh, dados mimit gati, tiang tadi kan sibuk jadi agak terlambat, tolonglah Jro Mangku”, ucapnya mengharap.
“Maaf Pak Gede, sekarang saya akan sibuk juga, tolong jangan diganggu juga,” jawabnya singkat.
“Beh, masak begini melayani krama, mestinya ngayahang ring Ida Bhatara tidak boleh Jro Mangku setengah hati, paling tidak hari ini Jro Mangku harus stand by di pura seharian, imbuhnya lagi.
Perdebatan kecil terus berlanjut di jalanan “Ya, benar! Dan sebaliknya Pak gede juga libur hari ini, tidak ngurusang tanah saja, sehingga urusan ke pura dinomor duakan dan tidak tepat waktu, pada hal untuk nyaloi tanah Pak Gede bisa tepat waktu,” ujar Mangku Kocong sembari beringsutan pergi tanpa peduli ocehan Pak Gede yang mencak-mencak, kecewa dan marah. “Mangku Kocong mulai sok jual mahal, tidak tahu tanggung jawab,” umpatnya. Masalah sepele ini akhirnya diangkat oleh Pak Gede pada suatu sangkepan Banjar Adat.
Rapat mala mini awalnya membahas soal perhitungan biaya piodalan yang telah lewat dan rencana pembangunan selanjutnya. Rapat berjalan lancer saja. Namun tidak demikian setelah Pak Gede menginterupsi rapat yang intinya memprotes tindakan sewenang-wenang dan semau gue dari Mangku Kocong. Pak Gede mengecam cara-cara penetapan waktu Mangku madeg di Pura yang begitu singkat. Lebih singkat dari jam praktek dokter. Sebelum warga mengomentari protes calo tanah ini Bendesa Adat terlebih dahulu mempersilahkan Mangku Kocong untuk menggunakan hak jawabnya. Berderailah kata-kata Mangku Kocong dengan polos, sederhana dan apa adanya.
“Wahai Bapak sekalian, jika seandainya hadirin sekalian mengharapkan pemangku nyodog di Pura sehari penuh pada rerahinan, tidak masalah bagi saya. Tetapi, mohon juga diingat, manakala saya standby di pura sehari penuh maka semua pekerjaan rumah saya terbengkalai. Anda-anda sekalian enak, bisa nyaloi tanah, bisa ngantor, bisa tetap ke sawah, berburuh, dan sebagainya.
Singkatnya, anda secara normal mendapatkan penghasilan harian, sementara pemangku disuruh absen. Tolong diingat, perut saya masih perut manusia yang makan nasi belum bisa kenyang oleh sarin bunga, jadi tolong ditoleransi supaya dalam sehari ini saya juga bisa bekerja, minimal nyabit ruput,” ujarnya.
Para warga saling pandang setelah pembelaan dari Mangku Kocong. Ternyata selama ini mereka hanya melihat kewajiban ideal seorang Pemangku, sebaliknya mereka tidak berpikir untuk hak seorang manusia, apalagi hak seorang pemangku yang sepatutnya dijunjung, diperhatikan dan dihargai. Dengan jawaban mangku seperti itu, Pak Gede otomatis habis kata. Ia sadar tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk menggaji pemangku, lantas mengapa berani perintah ini dan itu.
Rapat mulai kasak-kusuk seperti tawar menawar di pasar untuk mencari solusi terbaik. Akhirnya warga Desa Adat Nyidang Sari berkeputusan bahwa setiap rerahinan maka pemangku harus tinggal di pura sampai semua warga hais menghaturkan banten. Sebagai kompensasi terhadap pencaplokan waktu Mangku Kocong, warga sudah berketetapan hati secara mufakat bulat untuk memberi Jro Mangku uang ganti sebesar Rp. 50.000,- setiap hari saat pemangku dinas di Pura.
Warga menyebutnya sebagai uang ganti – bukan punia, sebab kalau punia semestinya mampu meringankan beban atau mengepulkan asap dapur seorang pemangku yang disucikan atau dianggap suci. Jadi uang Rp. 50.000,- itu hanya setara dengan pendapat harian seorang pedagang atau buruh metekap dengan kerbau atau sapi yang juga pekerjaanJro Mangku sehari-hari. Maklum, Mangku Kocong termasuk gado-gado, ya.. brahmana, Sudra juga ya… begitulah pemangku menggugat keberadaan dan reaksi masyarakat sekitar.

Sumber : Bali Post

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Lucu bget......
Sangat-sangat lucu sakit perutku ketawa,
Ada makna yg positif bisa diambil.
Bahwa idebetare senang dengan hamba nya yg polos, dengan cerita di atas, seharus nya kita bsa mengambil makna yang tersirat.