18 Juni 2011

KISAH SEORANG BRAHMANA DENGAN SEEKOR KEPITING

Oleh : Ida Rsi Bujangga Waisnawa Putra Sara Sri Satya Jyoti

Tersebutlah seorang pendeta(Brahmana) sedang berjalan melintasi sebuah sungai yang kering karena musim kemarau yang panjang. Sang Brahmana yang berhati suci dan welas asih berjalan tertatih-tatih menuju pulang ke pesramannya. Ketika sedang melintasi sungai kering terlihatlah olehnya seekor kepiting yang sangat kurus kering dan hampir mati kelaparan, karena tiadanya air di sungai tersebut. Ketika sang Brahmana (Pendeta) melihat kepiting yang hampir mati tersebut, timbullah hati welas asihnya, dan kepiting itu dipungutnya dan dipindahkan. Setibanya sang Brahmana di Pesraman, maka kepiting yang dipungut di sungai kering, dimasukkan ke dalam telaga yang ber-air jernih yang berada di Pesraman Sang Brahmana.
Lama kelamaan, waktu telah berlalu dengan cepatnya, kepiting yang dulunya kurus kering kini sudah besar dan gemuk, karena ia cukup makan dan cukup air di telaga Sang Brahmana. Si kepiting sangat bersyukur karena atas bantuan Sang Brahmana ia tidak jadi  mati kelaparan, bahkan kini ia bisa hidup tenang dan bahagia.
Suatu hari sang Brahmana sangat kelelahan karena baru datang dari melaksanakan upacara untuk Ngelokapalasraya di desa seberang. Sang Brahmana mencari tempat yang teduh serta berbaring di Pesraman yang berada dipinggir telaga, karena kelelahan beliaupun akhirnya tidur pulas.
Tidak jauh dari tempat Sang Brahmana tidur tampaklah seekor ular besar yang bercakap-cakap dengan burung seekor burung gagak, merencanakan akan memangsa Sang Brahmana yang sedang tidur. Ketika kedua binatang itu sedang bercakap-cakap merencanakan untuk membunuh Sang Brahmana, terdengar oleh si Kepiting. Oleh sebab itu si kepiting mendatangi kedua binatang yang ingin membunuh Sang Brahmana, dengan pura pura mau ikut membantu membunuh sang Brahmana. Berkatalah si kepiting kepada ular dan burung gagak, “Hai sobat berdua, jika engkau mau membunuh Sang Brahmana, kita harus hati-hati, karena ia sangat lihai, akupun sebenarnya sedang menunggu kesempatan untuk membunuhnya”  kata  si Kepiting. “Kalau demikian  bagaimana caranya?” Tanya ular dan burung gagak.
Lalu si kepiting menjawab “hai sobat kita bertiga harus bersatu, tanpa itu kita tidak bisa membunuhnya”. Lalu apa yang harus kita lakukan ?” tanya si ular.
Begini kata si kepiting, “engkau ular dan gagak sama-sama menggendong ku karena engkau berdua dapat berjalan dengan cepat, sedangkan aku jalannya agak lambat,”kata si kepiting meyakinkan ular dan burung gagak. “oke” jawab ular dan gagak serentak.
Setelah ketiganya sepakat, kepiting dengan kedua japitnya berpegangan satu di leher burung gagak dan satu lagi dileher ular. Ketika ular dan burung gagak mulai bergerak, maka kepiting makin mengeraskan cengkeramannya di kedua leher binatang tersebut sehingga leher ular dan leher burung gagak putus bersamaan. Maka berkat kesetiaan  si kepiting, matilah si ular dan burung gagak yang jahat ingin membunuh sang Brahmana sehingga Sang Brahmana selamat dari kematian.
Itulah balas jasa kebaikan seekor binatang yang bernama kepiting terhadap manusia yang pernah menolongnya. Karena ia (si kepiting) merasa berhutang nyawa terhadap sang Brahmana saat ia hampir mati kelaparan dan kekeringan di sebuah sungai yang telah kekeringan.
Renungan :
Binatang saja tergerak hatinya untuk berbuat kebaikan, demi membalas budi kepada yang menolongnya. Maka manusia yang memiliki Tri Premana ( Bayu, Sabda dan Idep) sepatutnya lebih tersentuh untuk membantunya dan melindungi orang lain demi kebaikan, binatang bisa mengapa manusia tidak ? sesungguhnya lahir sebagai manusia adalah utama, karena memiliki kesempatan untuk berbuat kebaikan.
Dalam sloka sarasamuscaya 1:4 dan Sloka 1 : 6, berbunyi :
Apan ikang dadi wang, uttama juga ya, nimitaning mankana, wenang ya tumulung waknya sangkeng sengsara, makasahanang subhakarma, hinging kottamaning dadi wwang ika.
Artinya : sebab menjadi manusia sungguh utama juga, karena itu ia dapat menolong dirinya dari keadaan samsara dengan jalan karma yang baik, demikian istimewannya menjadi manusia.
Paramarthanya pengpengeta pwa ka temwaniking si dadi wwang, durlabha wiya ta, satsat handaning mara ring swarga ita, sanimittaning tan tiba muwahta pwa demelakena.
Artinya : tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan lahir sebagai manusia ini, sungguh sulit untuk diperolehnya, laksana tangga menuju surga, segala yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi, itu hendaknya supaya dipegang.
Diambil dari kolom renungan pada harian Fajar Bali 

Tidak ada komentar: