02 Januari 2011

DI JALAN DHARMA


Ini adalah sebuah catatan kecil yang dibuat seorang bernama Gentha Apritaura, seorang muslimah yang sedari kecil sudah diberikan pendidikan agama Islam secara konsisten, radikal dan cendrung ketat bahkan selama beberapa tahun, tiap sore mengambil pendidikan ekstra disalah satu sekolah Islam ternama berbasis Muhammadiyah yang konservatif, yang sekarang  telah menemukan jalan Dharma. Catatan ini sengaja diketik ulang dari sebuah majalah Hindu dan  saya postingkan di blog ini untuk dapat diketahui oleh teman-teman pengunjung blog dan disebarluaskan, dengan suatu harapan kiranya catatan ini dapat dijadikan cermin bagi pembaca untuk tetap berada dijalan Dharma.  Banggalah menjadi Hindu :

JODOH : TAKDIR ATAU KARMA ?
Oleh : Gentha Apritaura

Om Swastiastu,
Saya dibesarkan di lingkungan Islam. Saya memutuskan memilih agama Hindu ketika saya masih dalam usia yang orang bilang premature. Too Early. Tapi bagi saya, tidak ada kata premature, sebab Hindu telah menyentuh kebutuhan rohani saya yang paling dasar. Saya menemukan Hindu tanpa guru, tanpa bantuan orang lain, namun itulah yang membuat saya bangga karena dengan demikian, berarti saya mengambil keputusan besar ini tanpa intervensi siapapun.

Usia saya sekarang 22 tahun. Pada usia 21 tahun, saya jatuh cinta pada seorang cowok muslim. Sebut saja namanya Fre. Bukan orang baru, dia cinta pertama saya di sekolah menengah sekaligus teman sejak SD. Bersamanya, saya merasakan cinta yang sungguh-sungguh terhadap seorang  lelaki. Semua ego runtuh di hadapannya. Hampir setahun, saya mengalami masa penuh pergolakan, perang batin, jungkir balik tidak karoan. Saat itu, hidup hanya memberi saya dua pilihan. Jika saya pilih Hindu, saya harus melepaskan dia (dan mengecewakan keluarga sekali lagi), jika memilih Islam, saya dapat melewatkan waktu bersamanya, sekaligus membahagiakan keluarga karena mereka mengharapkan saya kembali (namun dengan mempertaruhkan
amanastuti saya sendiri).

Pada masa itu saya berpikir keras, kernapa jalan hidup membawa saya pada situasi seperti ini ? dalam benak saya, ada pertanyaan yang sangat mengusik, “Jodoh, takdir atau karma ?” Ajaran agama sebelumnya jelas-jelas menyatakan jodoh adalah takdir. Namun dalam hati masih terasa mengganjal. Memerlukan cukup waktu hingga akhirnya saya temukan jawaban ini (mohon maaf sebelumnya, pendapat ini bersifat subyektif).
Jodoh itu bukan takdir, tapi karmapala !
Alasannya ?
Saya, bisa saja meraih Fre dalam pelukan saya, lalu kembali pada ajaran keluarga sambil mengatakan, “ini sudah jalannya”. Tapi apa yang ada di balik itu ? Sebuah kemunafikan besar, menggunakan “jalannya”  Tuhan untuk mengelak dan menempatkannya sebagai pembenar atas tindakan yang saya lakukan. Kenyataan ini seperti pengecut yang menampar muka saya sendiri.

Dalam kondisi pikiran yang jernih, saya dapat mendengar suara dalam hati yang jelas-jelas mengatakan, “Aku tidak ingin menukar Tuhan dengan apapun!”. Sadarkah kita, kita seringkali mengabaikan suara hati ketika pikiran kita sedemikian focus terhadap suatu target. Mungkin, ini jugalah yang disebut maya itu.

Saya sadar betul bahwa selalu ada konsekuensi dari tiap tindakan. Dan keputusan yang saya ambil adalah, saya mempertahankan ke-Hindu-an saya. Efeknya , saya tidak dapat melanjutkan hubungan saya dengan Fre, dan mungkin saya lagi-lagi mengecewakan Bapak, Ibu, adik-adik, serta segenap keluarga besar.

Saya menangis, (tentu saja).  Hati saya hancur kehilangan Fre, saya sedih melihat keluarga harus ikut menanggung dampak moral dan social atas tindakan yang saya lakukan. Tapi inilah keputusan saya. Dari pengalaman ini saya percaya jodoh itu hasil perjuangan, bukan ketentuan Tuhan. Mengapa ? sebab, sebetulnya saya bisa memiliki Fre jika saya bersedia melakukan satu hal : melepaskan ke-Hindu-an saya. Namun tidak saya lakukan. Karena apa ?  Karena saya tidak mau. Itulah kuncinya.

Saudara-saudaraku sedharma, melalui catatan ini saya ingin berpesan pada anda sekalian, terutama untuk teman-teman yang sedang mencari pasangan hidup, yang sedang merantau di tengah lingkungan umat berkeyakinan lain, yang merasa berdiri sebagai minoritas, yang sedang mengalami sindrom rendah diri agama, atau bahkan bagi yang mungkin saat ini sedang menimbang-nimbang untuk pindah ke agama lain ; sadarkah kita, Sanatana Dharma adalah permata yang dunia miliki. “Rahmatan Lil Alamin” (rahmat bagi sekalian alam) yang sesungguhnya, bukan hanya “Rahmatan  Lil Hindu”. Brahman yang kita kenal adalah fugur Tuhan yang tidak memilih, tidak pernah membeda-bedakan.

Mungkin, dari kalimat “tidak pernah membeda-bedakan”, saya bisa menggunakannya sebagai dalih untuk pindah ke agama lain. Tapi dengan mengetahui kualitas Tuhan-Tuhan dari agama lain itu, dengan tegas saya akan  mengatakan “Saya tidak mau memiliki Tuhan seperti itu!”.    Om Ekam Evam Advityam Brahman, Hanya Brahman yang saya kenal sebagai sejatinya Tuhan. Tuhan bagi seluruh semesta, bukan hanya Tuhan satu kaum.

Teman, saya sungguh berharap catatan ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi Anda yang membacanya. Saat ini saya terus berusaha membuktikan pada keluarga bahwa keputusan saya memeluk Hindu bukanlah keputusan bodoh. Hindu telah merombak total mindset saya yang dulu penuh ego ahamkara.

Teman, banggalah menjadi seorang Hindu. Sebab kita tengah bernaung dalam ajaran induk dari semua ajaran. Saya yakin, setiap dari Anda pernah menghadapi situasi sulit yang memaksa Anda mengambil sebuah keputusan pahit. Tapi saya pun yakin, semuanya adalah proses untuk menjadikan kita lebih dewasa. Gita mengajarkan, orang bijak tidak terlalu terlarut dalam kesedihan ataupun kesenangan. Lihat sisi positif dari apapun yang kita hadapi. Daripada menyesali pintu yang sudah tertutup, bukankah lebih baik mencari pintu lain yang terbuka ? life must going on,  apapun yang kita perjuangkan, karma pala-nya akan kembali.

Mulai saat ini, semoga tidak pernah lagi terbersit dalam benak kita untuk cenderung menuding Tuhan atas apapun yang kita alami. Mulat sarira, rubah mindset Anda. Legowo menerima hasil dari perbuatan kita sendiri akan terasa jauh lebih melegakan  sekaligus membentuk diri kita untuk lebih mampu bersikap ksatria. Mungkin benar, kita tidak tahu karma apa yang kita bawa dari masa lalu. Tapi minimal, kita bisa melihat hasil dari apa yang kita dapat merupakan  hasil dari tindakan kita sekarang. Be positive, do positive. Tidak aka nada yang sia-sia.
Om Santih Santih Santih Om.

Gentha Apritaura, lahir 24 April 1988 di Jakarta. Menjalani hidup berpindah-pindah ke Medan, Banda Aceh, Surabaya, Jayapura dan Madura. Kembali ke Surabaya untuk kuliah di D-III Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada tahun 2006. Memilih untuk memeluk Hindu tahun 2008. Melaksanakan Sudhi Wadani pada Pebruari 2009 di Pare, Kediri. Saat ini bekerja sebagai Radiografer di sebuah Laboratorium Klinik di Surabaya. Dapat dihubungi di Naughty_gen@rocketmail.com atau no ponsel 081330505484.

1 komentar:

kasub abadi mengatakan...

om awgnam astu nak, semoga bahagia dlam pelukan dharma.