Mengapa didikotomikan antara Takdir dengan Karma ? Adakah yang salah dari Takdir atau Karma ? Hal ini sering kami renungkan ketika melihat kenyataan didunia ini yang selalu bertolak belakang. Ada yang hidup dengan kondisi yang baik dan ada yang hidup dalam kondisi yang kurang baik. Ada yang berusaha dengah hasil yang baik dan ada yang berusaha dengan hasil yang kurang baik. Adakah semua itu terjadi karena “sudah ditentukan” ataukah itu terjadi karena pengaruh apa yang kita perbuat ?
Sebagai ilustrasi, ada dua orang penjual soto. Sebut saja namanya masing-masing Si Dul dan Si Amat. Mereka berjualan di jalan yang sama. Warung mereka berdampingan. Tetapi soto di Dul sangat laris, sedang soto si Amat tidak laku. Mengapa terjadi demikian ? Menurut Doktrin Takdir , hal tersebut dikarenakan “semua itu kehendak Tuhan !”
Mengapa Tuhan menentukan demikian ? Apakah si Dul lebih rajin ibadatnya dari si Amat ? Tidak juga. Dalam banyak hal si Amat lebih banyak ibadatnya. Ia memiliki lebih banyak waktu untuk berdoa. Jadi mengapa ?
Tuhan campur tangan langsung mengatur hidup manusia di dunia ini. Siapa yang dibuat-Nya untung, siapa yang dibuat-Nya rugi, sepenuhnya tergantung pada kehendak Tuhan sendiri. Tuhan menentukan segalanya. Tuhan campur tangan langsung mengatur peredaran bumi, matahari, bulan dan planet-planet lain agar tidak bertabrakan satu sama yang lain. Tuhan juga campur tangan langsung mengatur rezeki para penjual soto.
Pada lain kesempatan seorang penceramah agama tertentu didatangi seorang umatnya yang mengajukan fakta tentang ketidak adilan didunia ini. Ada orang yang bekerja mati-matian tapi usahanya tidak maju-maju. Ada yang bekerja biasa-biasa saja tapi usahanya maju dengan pesat. Ada orang yang gampang menemukan jodoh, bertemu sebentar lalu kawin dan hidup bahagia. Ada yang menguber jodoh bertahun-tahun tapi tidak ketemu. Ada sepasang suami-istri yang baik dan saleh tapi tidak dikaruniai anak. Ada pasangan suami istri yang kudua-nya seneng selingkuh tapi diberi anak. Mengapa ada ketidak adilan semacam itu ?
Penceramah ini menjawab : semua ini kehendak Tuhan. Nasib tiap-tiap orang telah ditentukan sebelumnya. Ketika Tuhan meniupkan roh kepada janin dalam kandungan ibu, pada waktu itu pula ditetapkan nasib si jabang bayi. Tapi kenapa Tuhan menetapkan nasib yang berbeda ? mengapa Dia menetapkan kebahagiaan bagi sebagian orang dan penderitaan bagi sebagian orang lainnya ? Dimana letak kemaha adilan-Nya ?
Untuk pertanyaan ini penceramah itu memberi jawaban yang sama. Kita mahluk yang lemah dan bersifat terbatas tidak mungkin mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menerima kehendak-Nya dengan sikap sabar dan pasrah. Kehendak Tuhan tidak mungkin diubah apalagi dilawan. Sikap pasrah akan menghindarkan kita dari gangguan jiwa.
Selama berabad-abad manusia mempertanyakan dan memohon keadilan-Nya. Tapi ia terus menetapkan takdirnya secara sepihak dan sewenang-wenang, tanpa mempertimbangkan doa dan perbuatan manusia. Tidakkah ia mengalami kesulitan dengan hati nurani –Nya ? atau apakah Ia memiliki hati nurani ?
Ilustrasi diatas menggambarkan cara sebagian orang memandang kemahakuasaan Tuhan. Tapi ini bukan satu-satunya pandangan. Ada pandangan lain. Tuhan mengatur segala sesuatu didunia ini. Tapi tidak melalui campur tangan langsung. Melainkan melalui hukum-hukum yang diciptakannya.
Cara pertama disebut doktrin predestinia atau takdir. Manusia adalah sekedar wayang di tangan Ki Dalang.
Cara kedua disebut hukum karma. Melalui hukum yang diciptakan Nya, Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, manusia diberi akal oleh Tuhan. Dan akal adalah untuk menentukan pilihan-pilihan dan dengan pilihan-pilihan ini manusia mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
Apakah akibat dari masing-masing cara pandang tersebut bagi sikap prilaku manusia ?
Kembali kepada ilustrasi dua orang penjual soto di atas. Ketika si Amat meyakini semua yang dialaminya yaitu dagangannya tidak laris adalah takdirnya, sebagai orang yang beriman /percaya ia tidak perlu melakukan apa-apa. Kerja keras akan sia-sia karena kehendak Tuhan tidak mungkin diubah. Usaha yang keras bahkan dapat dianggap menolak kehendak Tuhan. Ia merasa tenang dalam kepasrahannya. Bila ia merasa sedikit cemburu kepada nasib baik si Dul, sepanjang ia tidak melampiaskan kecemburuan itu dalam perbuatan yang merusak, sebagai manusia lemah, itu wajar saja.
Kepercayaan akan takdir dan kemahakuasaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui campur tangan langsung membawa kita pada kesimpulan-kesimpulan yang sangat menakutkan. Bila segalanya yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak Tuhan, maka perjudian, pelacuran, pembunuhan dan perkosaan adalah kehendak-Nya. Dialah yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam suatu perjudian. Dialah yang menentukan siapa yang jadi pembunuh dan siapa yang tertuduh, siapa yang memperkosa dan siapa yang diperkosa! Para penjudi, pelacur, pemerkosa dan pembunuh itu semestinya tidak dapat disalahkan, karena mereka semata-mata menjalankan kehendak Tuhan. Mereka sekedar melakoni takdir yang tidak dapat ditolaknya.
Bagaimanakah sikap si Amat bila ia percaya kepada hukum karma ?
Mengetahui dagangannya kurang laku, atau kalah laris dari si Dul, ia melakukan introspeksi. Apa yang salah pada dirinya. Apakah sotonya kurang enak ? apakah harga sotonya terlalu mahal? Apakah warungnya kurang bersih ? atau sikapnya yang tidak ramah kepada pelanggannya ? disamping itu ia juga akan mempelajari apa yang menyebabkan si Dul sukses dalam mengelola warung sotonya. Dalam bahasa yang lebih canggih si Amat melakukan analisa SWOT (kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang).
Dalam melaksanakan rencana-rencana untuk memperbaiki nasib, kita harus rela mengorbankan sedikit kedamaian hati. Hidup memang memerlukan satu derajat ketegangan tertentu. Ibarat senar sebuah gitar. Bila kendor ia tidak menghasilkan bunyi. Bila terlalu kencang ia putus. Pedoman yang telah menuntun Sidharta Gautama menemukan pencerahan, juga menuntun kita untuk menjalani hidup di dunia ini. Ketika kita sudah menentukan derajat ketegasan yang pas, ketika itu kita menemukan kemantapan hati, atau ketenangan yang dinamis. Yang lebih penting lagi, dalam usaha-usaha memperbaiki hidup, kita tidak merasa melawan kehendak Tuhan.
Umat Hindu percaya Tuhan dengan hukum karma adalah Tuhan yang Maha Adil. Keadilan menumbuhkan optimisme. Bahwa usaha kita tidak pernah sia-sia. Usaha kita merupakan factor utama untuk menentukan “nasib” kita. Kitalah yang menentukan nasib kita.
Astungkara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar