Romo Wagiyo menerima pesan pesan spiritual, dari mendiang ayahnya menjelang meninggal, “Nanti setelah saya meninggal, saat njurung sukmo (entas-entas), kalau ada pendeta yang berani menjamin atman saya, silahkan saya diselesaikan. Tetapi kalau tidak ada yang berani menjamin, saya minta kamu yang menyelesaikan.”
Akhirnya, ia yang menyelesaikan , melaksanakan upacara tanpa dipimpin seorang pendeta, karena itu merupakan pesan. Namun, sebelumnya ia mengatakan, “Pak, saya ini anak bapak, kemampuannya terbatas.” Jawaban bapaknya, “Kamu bisa. Kamu nanti akan saya tuntun pada pada saat itu.” Dan apa yang terjadi pada waktu upacara itu ? Romo meminta tanda-tanda, begitu akan dimulai ia akan menyampaikan kepada keluarga, “Itu ada lampu-lampu tergantung, saya minta supaya hanya sebuah lampu bergerak/ bergoyang, Hanya satu, tetapi yang lainnya tetap diam. Lalu iapun memulai, tanpa tahu harus mengatakan apapun. Ia mendapat bisikan kalimat-kalimat yang harus dikatakannya, dan sangat runtut sekali. Sayangnya, kini sudah banyak lupa. Hanya sekali itu, ia mengucapkannya dengan lancer. Akhirnya bisa menyelesaikan upacara njurung sukmo untuk ayahnya.
Sebelum itu ia juga bertanya kepada pendeta, sesuai pesan ayahnya. Ternyata beliau tidak sanggup menjamin, karena itu pesan khusus, beliau juga tidak berani. Orang tua Romo dalam menggunakan sesaji juga berbeda dengan orang-orang lain. Beliau itu manusia Jawa, sangat teliti dalam melaksanakan ritual, dengan penjelasan yang rinci. Setelah acara itu, setiap hari Romo minta tanda-tanda bahwa perjalanan ayahnya sudah baik. Memang hal ini menyangkut masalah rasa, karena itu orang lain belum tentu bisa. “Kebetulan karena saya anaknya, Beliaulah yang mengukir jiwa raga saya dan diberi kepercayaan oleh beliau , nyatanya bisa, walaupun saya bukan pendeta,” ujarnya. Menurutnya, Pengentas Atman Tresno Manunggal yang dilakukan di Jawa Timur (Krembung) terhadap ribuan orang itu bukan masalah, walaupun tidak dipimpin oleh pendeta. Yang penting yang melaksanakan itu yakin, karena ini peristiwa spiritual.
Ada lagi pengalaman spiritual Romo Wagiyo yang sangat menarik. Baru-baru ini ia sakit dan berada dalam kondisi koma selama enam hari. Selama itu, ia tetap bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan baik dibawah sadar. Tetapi kegiatan lain, tidak. Pengalaman ini menambah keyakinannya bahwa sang atman itu tidak dibatasi ruang dan waktu, dan tidak mengenal pangkat derajat. Dan semua itu hanya kesamaan, kembali kepada spiritual tadi. Pada saat berada pada kondisi koma, ia merasa “enak”. Dalam perjalanan dibawah sadar ini, setibanya disana, ia ditolak dan disuruh pulang. Ia bertemu dengan ayahnya yang sudah swagi (meninggal). Mendiang berkata, “kamu harus kembali, karena belum waktunya. Kamu lihat, nggak kasihan anakmu? Menurut Romo, ia rasanya melihat anaknya sedang termenung. Coba lihat itu orang-orang, kata ayahnya lagi. Romo merasa kayaknya warga Bandung ini banyak yang sedih. Saat itulah Romo mengatakan, “ya, saya mau kembali. Tetapi bapak harus tahu badan saya rusak, “ lalu almarhum mengatakan, “sudah, tidak usah takut, Badanmu biar baik, minta air kepada ibumu.” Ibunya, disebuah bangunan rumah Jawa. Disana ada mata air. Lalu saya diambilkan air oleh ibu. Saya diminumi. Sejak saat itulah kesadaran saya pulih dan saya melihat anak saya di depan saya, “ katanya. Dalam perjalanan kembali kedalam tubuh, Romo dituntun dengan mengucapkan rangkaian kalimat yang sekarang beberapa sudah terlupakan. Kalimat-kalimat itu diucapkannya seperti mesehe, seperti megending tatapi runtut sekali. Kalau saja tuntunan itu direkam, mungkin akan bermanfaat. Semalam suntuk terus menerus Romo dibawah sadar seolah melantunkan mantram terus menerus, hingga sadar. Inilah sesungguhnya lantunan mantram untuk menuntun kembalinya sang jiwa dari sebuah pembelajaran di alam niskala. Ini mirip dengan proses seseorang yang mati raga, kemudian setelah mempelajari alam niskala, surge dan neraka, akhirnya kembali ke dunia fisik ini, menjadi seorang dwi jati.
Menurut Romo, ternyata kehidupan di alam sana tidak berbeda dengan di sini. Saya bertemu dengan ibu, bapak saya dan juga mendiang Pedanda Gede Bajing (Pedanda Lingsir) yang berdiri bersebelahan dengan ayah saya, padahal sewaktu masih hidup mereka tidak saling mengenal, katanya.(Putu Suarsana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar