25 September 2009

Mengenang 1000 Tahun Mpu Kuturan


Yang mengajarkan tentang pendirian Pura Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali merupakan gagasan Mpu Kuturan. Penataan kehidupan beragama dan berbudaya Hindu di Bali menjadi kuat bertahan; pertama karena jasa-jasa dari Rsi Markandia dan kemudian dilanjutkan oleh Panca Pandita yang lebih terkenal dengan sebutan Panca Tirtha. Lima Pandita yang terkenal dengan Panca Tirtha itu adalah Mpu Geni Jaya. Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bhradah. Sejauh mana jasa para mpu tersebut dalam menata kehidupan beragama dan budaya di Bali?


Di antara lima pandita bersaudara itu yang sangat menonjol peran sejarahnya dalam menata kehidupan beragama dan berbudaya Hindu di Bali adalah Mpu Kuturan yang juga bernama Mpu Raja Kerta. Mpu Kuturan-lah yang mendampingi raja menata kehidupan beragama Hindu di Bali pada abad ke-9 Masehi. Sekarang peranan Mpu Kuturan dalam menata kehidupan beragama Hindu di Bali sudah berumur 1.000 tahun.
Sebagai generasi penerus sudah menjadi kewajiban kita krama Bali dan umat Hindu yang lahir dan hidup di Bali untuk menatap kembali langkah-langkah Mpu Kuturan 1.000 tahun yang lalu. Nilai-nilai Hindu yang universal itu diterapkan oleh Mpu Kuturan dengan kemasan lokal. Mpu Kuturan sudah melakukan sikap ”berpikir universal dan berlaku lokal”. Meskipun istilah seperti itu belum dikenal pada zaman Mpu Kuturan.
Berbagai wujud budaya Hindu yang beliau wariskan kepada kita. Jika semua itu benar-benar dibedah dengan baik maka akan sangat kelihatan bahwa nilai yang beliau kemas dalam bentuk budaya lokal sesungguhnya mengandung nilai yang sangat universal.
Dalam lontar yang diberi nama Lontar Mpu Kuturan dinyatakan bahwa Mpu Kuturan-lah yang memproklamasikan Bali ini sebagai simbol Padma Bhuwana. Bali sebagai simbol Padma Bhuwana artinya bahwa Bali ini dilambangkan sebagai simbol alam semesta (Bhuwana Agung) stana Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Lontar Kusuma Dewa, Mpu Kuturan-lah yang dinyatakan mengajarkan untuk membangun Kahyangan Jagat seperti yang disebut Kahyangan Rwa Bhineda, Kahyangan Catur Loka Pala, Sad Kahyangan dan Kahyangan Padma Bhuwana.
Mpu Kuturan yang mengajarkan untuk mendirikan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman. Dengan langkah tersebut Mpu Kuturan telah membangun Bali sebagai wadah untuk membangun kerukunan masyarakat Bali secara sinergis. Sistem kerukunan yang dibangun Mpu Kuturan mencakup empat dimensi kerukunan yaitu kerukunan family di Pura Keluarga atau Kawitan, kerukunan teritorial di Pura Kahyangan Tiga, kerukunan profesional di Pura Subak, Pura Alas Arum, Alas Rasmini bagi para petani. Pura Melanting bagi para pedagang dan kerukunan universitas di Pura Kahyangan Jagat.
Menurut penelitian DR. R. Goris tahun 1926 menyatakan bahwa sebelum Mpu Kuturan menata kehidupan beragama Hindu di Bali terdapat sembilan sekte atau Sampradaya Hindu. Melalui gagasan Mpu Kuturan sembilan sekte Hindu itu dipertemukan di Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar. Melalui Pesamuan Sekte-sekte Hindu di Samuan Tiga itulah seluruh sekte Hindu bersinergi membangun kejayaan Hindu yang membawa kejayaan budaya Hindu di Bali. Tidak ada satu sekte pun yang arogan menindas sekte yang lain. Tidak ada usaha saling meniadakan. Eksistensinya disatukan oleh kecerdasan dan kesucian Mpu Kuturan.
Hal inilah yang menjadi landasan membangun keagungan budaya Hindu di Bali. Dari kecerdasan Mpu Kuturan inilah terjalin kehidupan budaya Hindu yang berbeda-beda namun dipadukan menjadi suatu univikasi yang mensinergiskan berbagai potensi yang berbeda itu hingga menjadi suatu kekuatan yang andal membangun budaya yang adiluhung. Pada kenyataan tidak ada catatan sejarah yang menyatakan bahwa ada permusuhan antara sekte di Bali.
Pada abad ke-11 Masehi di Bali berkuasa Raja Udayana dengan permaisurinya. Raja Udayana menganut Budha Mahayana, sedangkan permaisurinya menganut ajaran Siwa Sidhanta. Raja suami-istri ini tidak bermusuhan meskipun sekte keagamaannya berbeda. Sekte dalam Hindu bagaikan fakultas-fakultas dalam suatu universitas Weda. Perbedaan antara sampradaya hanyalah pada Ista Dewata-nya dan sistem Adikari-nya.
Tentang Ista Dewata atau Nama Dewa yang paling diinginkan memang boleh saja Tuhan dipuja dalam berbagai nama yang diinginkan oleh umat. Karena Weda mengajarkan Tuhan itu esa sebutannya itu yang banyak yang diberikan oleh para Wipra atau orang-orang suci dan bijaksana. Sistem Adikari adalah sistem atau metodologi pengamatan ajaran kerohaniannya. Semua sistem Adikari para sampradaya mengacu pada Astangga Yoga.
Perbedaan hanyalah pada penekanannya atau perbedaan pada fokusnya dalam mengamalkan ajaran Astangga Yoga dari Maha Rsi Patanjali tersebut. Hal inilah yang membuat Bali menjadi pulau kecil mungil namun mengandung muatan budaya yang dapat menimbulkan daya tarik dunia.
Dr. Von Weck, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman yang pernah menjadi dokter di Bali menyatakan dalam bukunya yang berjudul ”Heil Kunde Und Folk Wolk Exton Ouf Bali” tahun 1937 bahwa: Kebudayaan Hindu di Bali merupakan tenunan warna-warni yang indah dan memukau. Demikian besarnya jasa-jasa Mpu Kuturan terhadap Bali. Dewasa ini nilai-nilai budaya Hindu yang diwariskan oleh Mpu Kuturan itu sudah banyak yang disalaharahkan sehingga mengalami kemerosotan, bahkan ada yang hampir terbalik dalam penerapannya dengan konsep awalnya. Hal ini menyebabkan beberapa aspek pelaksanaan agama Hindu sangat jauh dengan inti ajaran Hindu.
Adanya Pura Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali adalah anjuran Mpu Kuturan lewat sang Raja. Pura Kahyangan Tiga itu untuk memuja Ista Dewata yang disebut Tri Murti agar manusia dapat menerapkan ajaran Tri Kona yaitu Utpati, Sthiti dan Pralina.
Tujuan pemujaan Tri Murti itu menurut Bhagawata Purana untuk memposisikan Tri Guna secara tepat, sehingga manusia menjadi kuat berkualitas. Memuja Dewa Brahma di Pura Desa untuk mengendalikan sifat-sifat Rajah agar selalu positif mendorong manusia agar selalu kreatif menciptakan sesuatu yang patut diciptakan (Utpati). Memuja Tuhan sebagai Dewa Wisnu di Pura Puseh melindungi Guna Satwam atau melakukan Stithi. Sedangkan memuja Dewa Siwa untuk mengendalikan sifat Tamas agar jangan mengarah ke negatif justru dapat mempralina sesuatu yang sepatutnya dipralina.
Ajaran Tri Kona itu akan berjalan dengan baik apabila Tri Guna berposisi sesuai dengan proporsinya. Posisi Tri Guna akan sesuai dengan proporsinya agar bisa melakukan Tri Kona dengan baik dan benar apabila memuja Tuhan sebagai Tri Murti yang juga disebut Guna Awatara. Tuhan sebagai dewa pengendali Tri Guna. *(balipost.com, wiana)

Tidak ada komentar: