I. KONSEP
PEMUJAAN DALAM AGAMA HINDU
A. Latar Belakang Timbulnya Pemujaan.
Meskipun kemaha-kuasaan Tuhan itu tiada terbatas, dilukiskan pula beberapa kemaha-kuasaan yang dapat disadari oleh penganut agama Hindu.
Empat kemaha-kuasaan Tuhan itu disebut Cadu Sakti yaitu :- Prabu
sakti adalah Tuhan itu menguasai segala-galanya. Tidak ada yang tidak
terjangkau oleh kekuasaan Tuhan.
- Wibhu
sakti adalah Tuhan itu maha ada, Tuhan itu ada dimana-mana. Tidak ada
ruang dan waktu diluar Tuhan. Bahkan ruang dan waktu iotu ciptaan Tuhan
dan berada di dalam Tuhan.
- Jnyana
sakti adalah Tuhan maha tahu. Tidak ada yang tidak diketahui oleh Tuhan.
- Krya
sakti adalah Tuhan itu maha karya. Tidak ada pekerjaan yang tidak dapat
dikerjakan oleh Tuhan. Itulah empat kemaha-kuasaan Tuhan yang diyakini
oleh umat Hindu.
Manusia dengan alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam Bhagawad Gita III, 10 dijelaskan Tuhan / Prajapati
menciptakan manusia (Praja) berdasarkan yadnya. Tuhan yang menciptakan alam
(Kamaduk) sebagai sumber kehidupan
manusia.
Keharmonisan itu akan terjadi apabila
Tuhan / Prajapati, Praja (manusia) dan alam (kamadhuk) berhubungan secara
timbal balik berdasarkan yadnya.
Manusia dapat hidup karena Yadnya Tuhan
dan alam.
Karena itulah manusia harus kembali
pada Tuhan berdasarkan yadnya. Salah satu cara untuk kembali mendekatkan diri
pada Tuhan adalah dengan jalan menuju Tuhan itu sendiri.
Dalam diri manusia ada atma yang
merupakan percikan Tuhan (Paramatma). Puncak perjuangan manusia kembali pada
Tuhan adalah bersatunya Atma dengan Paramatma.
Sehubungan dengan itu ada istilah yang
disebut dengan manusia suci. Manusia yang suci bila telah meninggalkan
kehidupan dunia ini rohnya (atmanya) diyakini berada dialam Tuhan. Atma yang
telah mencapai alam ketuhanan yaitu : atma yang lepas dari ikatan jasmaninya
(stula sarira) dan ikatan badan astral (sukma sarira).
Atma yang demikian itu disebut dalam
berbagai pustaka sebagai “Dewa Pitara”.
Dewa pitara itu adalah pitara yang
telah mencapai alam kedewaan. Dewa pitara inilah dapat dipuja oleh manusia
hidup di dunia ini menurut ajaran agama Hindu.
Pemujaan
dewa pitara ini juga bertujuan untuk membantu manusia menuju bersatunya Atma
dengan Paramatma.
Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa umat Hindu pada prinsipnya memuja Tuhan dengan segala
manifestasinya dan memuja roh suci (Dewa Pitara). Umat Hindu dalam memuja Tuhan
Yang Maha Esa akan dirasakan mudah apabila dilakukan, sesuai dengan bentuk
kehidupan mereka masing-masing. Oleh karena itu seorang petani akan memuja
Tuhan dalam fungsinya melindungi kaum tani, demikian pula seterusnya. Hal
inilah yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk tempat pemujaan.
Di
dalam kitab suci Veda Sruti dalam berbagai syairnya disebutkan kewajiban untuk
memuja Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segala manifestasinya. Disamping memuja
Tuhan, Veda membenarkan pula memuja orang suci atau roh suci leluhur.
Dibawah
ini kami kutipkan syair kitab suci Veda yang tergolong kitab suci Veda Sruti
yakni kitab Sweta Swatara Upanisad, II, 5 dan 17 sebagai berikut :
5.
Yuje
wam brahma puryam
Nambir wisloka etu pathyewa sureh
Sruwantu wiswe amrtasya
Putra ae dhamani diwyani tasthuh.
Artinya :
Puja
kami tujukan kepada Brahma yang paling kami muliakan. Semoga doa dan puja kami
seperti yang telah diucapkan oleh orang-orang suci yang bijaksana dapat
didengar oleh Brahma, oleh Prajapati, serta putra-putra yang maha abadi yang
menempati sorga sebagai tempat
tinggalnya.
17. Yo dewa ‘gnau yo’ psu wiswam
bhu wanam awiwisa ya asodhisu yo wanas patisutasmai dewaya namonamah.
Artinya
:
Kepada
seorang maha suci yang seperti seorang Mahadewa, yang ada di dalam api, ada di
dalam air, yang telah memasuki alam semesta, yang ada di dalam tanaman
obat-obatan yang tumbuh setiap tahun, yang ada didaerah-daerah hutan, yang ada
di dalam pohon-pohonan, kepada orang suci ini sampaikanlah persembahanmu,
pujalah dia.
Dalam syair upanisad ini merupakan
seklumit syair dari banyak syair-syair yang mengajarkan tentang Tuhan (Brahman)
dengan segala manifestasinya. Disamping itu dibenarkan pula adanya pemujaan roh
suci seseorang. Roh suci itu karena telah mencapai alam ketuhanan bahkan telah
luluh bersatu dengan kesucian Tuhan wajib disembah dan dipuja. Hal inilah yang
menyebabkan pemujaan yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kepada Tuhan dan
manifestasinya serta roh suci leluhur.
Bahkan
Tuhan lebih banyak dipuja sesuai dengan fungsi-Nya.
Di dalam Kekawin Ramayana I, 3
disebutkan sebagai berikut :
Gunamanta sang Dasarata.
Wruh sira ring weda bhakti ring dewa
Tar malupeng pitra puja
Masih ta sireng swagotra kabeh.
Artinya :
Amat
utama Sang Dasarata. Beliau pandai tentang
weda dan bhakti pada dewa (Tuhan). Tidak pernah lupa memuja leluhur.
Amat kasih beliau dengan seluruh keluarga.
Kutipan kekawin Ramayana ini merupakan pertanda bahwa pemujaan Tuhan dan leluhur dilaksanakan pula oleh umat Hindu di indonesia. Kenyataannya umat Hindu dimanapun berada selalu memuja Tuhan, dewa-dewa dan roh suci.
B. Perkembangan Sisitim Pemujaan
Hindu.
Latar
belakang filosofis timbulnya pemujaan Hindu diwujudkan dengan sistim pemujaan.
Berdasarkan penemuan-penemuan akhli arkeologi umat Hindu di indonesia pada
mulanya menganggap Gunung Maha Meru di India adalah stana para dewa-dewa.
Bhatara Siwa dianggap berstana di
Gunung Kailasa. Menurut mitologi yang diceritrakan pada Lontar Tantu Pagelaran
gunung-gunung di pulau Jawa berasal dari Gunung Maha Meru di India. Roh leluhur
yang telah meninggal dan telah diupacarai dianggap telah berstana di gunung.
Gununglah dianggap sebagai tempat
suci. Demikian cara umat yang masih sederhana kebudayaannya mewujudkan
keyakinannya. Peradaban manusia dari jaman-kejaman mengalami kemajuan. Demikian
pula umat Hindu di indonesia mewujudkan sistem pemujaannya mengikuti pertumbuhan
jaman.
Sesungguhnya Tuhan berada
dimana-mana memenuhi alam semesta ini. Tidak ada ruang dan weaktu di alam
semesta ini tanpa kemaha-kuasaan dan kemaha-beradaan Tuhan. Alam semesta
(bhuwana Agung) inilah sesungguhnya stana Tuhan. Karena alam demikian luasnya
maka lam inipun disimbolkan dengan gunung. Menurut pandangan agama Hindu alam
ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu : Bhur, Bhuwah dan Swahloka. Inilah yang
disebut Tri Buwana Agung (macrocosmos). Tentang gunung sebagai lambang alam
disebutkan dalam Kekawin Dharma Sunya sebagai berikut :
- Bhatara Siwa sira suwung.
- Sipat ipun ikang kasar a wujud domya,
kaanggap wangun ndi.
- Yen karingkes dados meru ndi Himalaya.
- Yen keringkes dados meru ndi kadi ning
tanah Bali.
- Yen keringkes malih dados titiang.
Artinya :
Kalau diringkas menjadi Gunung di
Himalaya.
Kalau diringkas lagi menjadi meru
seperti di Bali.
Meru
diringkas menjadi diri kita.
Dari uraian Kekawin Dharma Sunya
ini dapat diambil, kesimpulan bahwa tempat pem
ujaan itu adalah lambang alam semesta
sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam perkembangan berikutnya tempat
pemujaan inipun mengalami perobahan. Peradaban manusiapun berkembang
demikianpula bentuk tempat pemujaan mengalami perkembangan.
Pada tahun 732 Masehi di Jawa Tengah
dibuatlah “Lingga” sebagai lambang pemujaan Siwa sebagaimana disaksikan oleh
prasasti Canggal. Lingga inilah yang dianggap Lingga tertua di indonesia.
Disamping di Jawa Tengah di Jawa Timurpun kita jumpai Lingga di desa Dinoyo. Di
pulau Bali Lingga itu banyak dijumpai didaerah-daerah pegunungan seperti di
danau Beratan, Candi Kuning, Gunung Mangu, Tampak Siring, Pura Penataran Sasih
Pejeng, Pura Besakih dan lain-lain. Di Goa Gajah kita jumpai suatu bentuk
Lingga yang lain dari pada yang lain. Lingga ini berjejer tiga terletak
disebuah Yoni. Lingga ini juga sesungguhnya juga lambang gunung bahkan gunung
itu sendiri disebut Lingga Acala artinya Lingga yang tidak bergerak. Di Bali
ada Lingga yang dibuat dari banten namanya banten Dewa-Dewi yang mana semua
unsur pokoknya terbuat dari ketipat Lingga.
Berdasarkan
bentuk dan fungsinya Lingga dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1.
Bagian
puncak berbentuk bulat disebut Siwabhaga lambang stananya dewa untuk memuja
Dewa Siwa.
2.
Bagian
tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnubhaga yang merupakan stana untuk
memuja Bhatara Wisnu.
3.
Bagian
bawah disebut Brahmabhaga untuk memuja bhatara Brahma. Ketiga bagian inilah
disebut Lingga, lambang Purusa Tattwa.
4.
Bagian
keempat yang merupakan alas dari pada Lingga tersebut namanya Yoni. Yoni ini
adalah lambang dari Pradana Tattwa.
Pertemuan Lingga dan Yoni adalah
simbolis pertemuan purusa dan pradana yang dilukiskan pertemuan aantara akase
dan pertiwi yang akan mendatangakan kesuburan. Kesuburan bumi kita ini
merupakan sumber kemakmuran. Bentuk pemujaan dalam perkembangan yang lainnya
berbentuk Candi.
Candi bukanlah tempat penyimpanan abu
tulang seperti pendapat para Sarjana barat. Candi adalah tempat pemujaan atau
temapat suci. Candi adalah bentuk replika dari pada gunung.
Candi sebagai tempat suci didasarkan
pada proses pendiriannya yang diuraikan dalam kitab Negara Kerta Gama dan
Peraraton. Pendirian candi adalah dilakukan setelah dilangsungkan upacara
sradha. Upacara sradha adalah upacara yang berpungsi sebagai penyucian roh
leluhur pada tahap kedua. Pada tahap pertama roh disucikan dengan mengembalikan
unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang berbentuk wadag manusia. Pada tahap kedua
upacara penyucian roh dilakukan untuk melepaskan roh dari sukma sarira itu
ialah Citta, Triguna, Dasendria, Panca Tanmatra, dan Karma Wasana. Unsur-unsur
Suksma saruira inilah yang lambangkan dengan puspa sarira dalam upacara sradha.
Setelah dilangsungkan upacara sradha
ini puspa sarira dibakar dan abunya dihanyut kelau atau ke sungai. Upacara
berikutnya adalah pendirian candi yang dalam Kitab Negara Kerta Gama disebutkan
Sang Hyang Sudarma sebagai istana roh suci raja yang dipastikan dalam bentuk
arca. Berdasarkan pertimbangan inilah candi itu bukanlah kuburan akan tetapi
merupakan tempat suci.
Candi
juga dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.
Kaki
candi lambang Bhur Loka.
2.
Badan
Candi lambang Bhuwah Loka.
3.
atap
Candi lambang Swah Loka.
Jadi candi itu adalah lambang Bhuwana
Agung. Dalam perekembangan selanjutnya bentuk tempat pemujaan ini berkembang
terus dan di Bali terdapat pelinggih yang disebut Meru, meru dalam bahasa
Sansekerta artinya gunung.
Meru adalah merupakan bentuk
pelinggih yang berasal dari perkembangan bentuk candi. Pada kenyataannya di
Bali ada meru beratap satu, beratap dua, beratap tiga, beratap lima, beratap
tujuh, beratap sembilan, dan yang tertinggi beratap sebelas.
Mengenai
pengertian meru ini antara lain dijelaskan dalam Lontar Andha Bhuwana sebagai
berikut :
“meru
ngaran pratiwimbha andha bhuwana, tumpangnya pawakan patalaning bhuwana agung
alit”.
Artinya
:
Meru
adalah lambang alam semesta, tingkat atapnya sebagai lapisan bhuwana agung dan
bhuwana alit (macro dan microcosmos).
Keterangan berikutnya Lontar Ardha Bhuwana menyebutkan tentang
tingkatan atap meru sebagai berikut :
“Pawangunan palinggih makadi meru mwang
Candi, juga pratiwimba saking panglukunan wijaksara daksara mewastu manunggal
dadi Om, mawindu-windu ngaluhur nihan : Windu tunggal, windu roro, windu telu,
windu catur, Windu panca, Windu sad, Windu sapta, Windu asta, Windu nawa, Windu
dasa muah Windu ekadasa.
Yan
ring paryangan meru tumpang sawelas ika lwihing utama, maka stana bhatara
Siwa-guru.
Bhatara Siwa sirasthana maring panta
sehider bhuwana, nga, dhik windhik marupa padma bhuwana sehider 8. ring seorang
ring madya ring luhur, 3 dadi 11. ngaluh luhur mwah tiga panta, yata matangnyan
14, panta maka stana bhatara Siwa, karena sira inaran sang Hyang jagatnatha.
Swang panta ika maka sthanaira mwah angelih aran. Catur desa panta ika, sapta
loka keluhur mwang sapta patala mingsor.
Artinya :
Bangunan
pelinggih terutama meru dan candi, juga simbol dari pelipatan huruf suci
dasaksara yang manunggal menjadi Om dengan windu-windu naik, yaitu : windu
satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan sembilan, sepuluh dan
sebelas. Bila pada palinggih, meru utama sebagai stana Bhatara Siwa pada 14
belas tingkatan sekeliling jagat yaitu sudut-menyudut menurut arah mata angin
berupa Padma Bhuwana segenap penjuuru delapan. Dibawah ditengah dan diatas tiga
menjadi sebelas. Keatas lagi tiga tingkat, maka itulah 14 tingkat sthana
bhatara Siwa, sebab itu beliau dinamai Sang Hyang Jagatnatha. Setiap tingkat
itu sebagai stana beliau yang masing-masing berganti nama. Empat belas tingkat
itu Sapta Loka keatas dan Sapta Petala ke bawah.
Dengan keterangan Lontar Andha
Bhuwana tersebut di atas dapatlah disimpulakan bahwa meru itu adalah lambang
bhuwana agung dan bhuwana alit. Sedangkan tingkatan atapnya disamping lambang
lapisan alam yaitu sapta loka dan sapta patala juga lambang “pengelukunan dasaksara”
yaitu pelipatan sepuluh huruf suci. Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang
maha abadi” karena itulah huruf suci itu juga disebut “Uriping bhuwana”.
Demikianlah pengertian meru dan
tingkatan atapnya.
Fungsi
meru sama juga dengan fungsi candi yaitu :
1.
Meru
sebagai Dewa Pratista yaitu tempat pemujaan Tuhan dan manifestasinya.
2.
Meru
sebagai atma Pratistha yaitu tempat pemujaan roh suci leluhur.
Perbedaan dari kedua fungsi itu
terdapat pada pedagingannya dan ukurannya (sikut). Dalam periode berikutnya kira-kira
pada waktu kedatangan Dang Hynag Nirata ke Bali mendampingi pemerintah Dalem
Watu Renggong di Bali berkembanglah bentuk-bentuk pelinggih yang baru bernama
Padmasana.
Dari
segi arti kata padmasana artinya bunga teratai sebagai tempat duduk, padmasana
dalam pengertian agama Hindu adalah suatu bangunan “palinggih” lambang stana
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalam inkonografi dewa-dewa Hindu
dilukiskan sebagai arca duduk diatas bunga teratai. Arca dewa di atas bunga
teratai banyak kita jumpai pada jaman Kediri Singasari dan Majapahit. Bunga
teratai itu berhelai delaan dipergunakan sebagai simbol Asta Aiswariya yaitu
delapan kemaha-kuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menguasai delapan penjuru
angin. Bunga teratai itu sering disebut “Pangkaja” yang artinya lahir dari
lumpur. Di dalam ceritra-ceritra Purana disebutkan para dewa muncul dari Padma.
Di dalam naskah Wrspati Tattwa
disebutkan Padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Sadha Siwa. Demikian pula
dalam kekawin Arjuna Wiwaha ketika Arjuna betapa digoda oleh Gendarwa dan
setelah dilawan berperang Gendarwa itu berubah wujud menjadi Dewa Siwa yang
bertahta di Padmasana manik. Dalam kekawin Arjuna Wiwaha disebutkan
“…….nareswara teka hana ring padmasana manik”. Semenjak terbentuknya Parisada
Hindu Dharma sebagai Majelis tertinggi umat Hindu di indonesia, berkembanglah
bangunan suci Padmasana sebagai tempat pemujaan umum.
II. TEMPAT
PEMUJAAN HINDU
A. Pengertian
Tempat Pemujaan.
Tempat pemujaan adalah suatu areal
tertentu dimana terdapat beberapa pelinggih untuk melakukan pemujaan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa / dewa-dewa at roh suci leluhur.
Pendirian
sutau tempat pemujaan beserta dengan pelinggih-pelinggihnya dilakukan dengan
ketentuan-ketentuan agama. Misalnya menentukan arealnya, tata letak pelinggih-pelinggih
didalamnya, upacara penyuciannya dan lain-lain.
Ketentuan agama dalam mendirikan
suatu tempat pemujaan harus dipenuhi sehingga suatu tempat pemujaan layak
dipergunakan sebagai tempat pemujaan Tuhan dan roh suci leluhur.
Tempat
pemujaan bukanlah semata-mata tempat sembahyang. Karena melakukan sembahyang
disamping ditempat pemujaan juga dapat dilakukan didalam kamar, maupun ditanah
lapang.
Tempat
pemujaan adalah tempat suci menurut pengertian agama Hindu. Pengertian tempat
pemujaan memiliki dimensi yang luas dan dalam. Meskipun Tuhan ada dimana-mana,
berada diluar ciptaannya maupun didalam ciptaannya. Tetapi memuja Tuhan
tidaklah dilakukan disembarang tempat.
Untuk dapat dirasakan keberadaan dan kemaha-kuasaan Tuhan, yang paling
baik dilakukan di tempat pemujaan. Ibarat mengambil susu kambing.
Meskipun
semua tubuh kambing sebagai penyebab timbulnya susu kambing, tetapi air susunya
hanya dapat diambil dari puting susunya. Demikian pula halnya dengan upaya
manusia untuk dapat merasakan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan roh suci
leluhur tidaklah dapat dilakukan secara sembarangan.
Dalam pengertian yang lebih luas
Tuhan dan dewa-dewa manifestasi Tuhan tidaklah bertempat tinggal di tempat
pemujaan semata-mata. Hal ini dapat dikemukakan karena pada setiap upacara
pemujaan seperti upacara pujawali atau piodalan ada upacara “nuwur” dan
“Ngluhurang” ida bhatara.
Upacara
Nuwur ida bhatara artinya menstanakan ida bhatara pada tempat pemujaan melalui
proses upacara untuk dipuja selama upacara pujawali berlangsung.
Pengertian
“ngluwurang” ida bhatara atau ida bhatara mesineb artinya ida bhatara kembali
ke tempat sebenarnya. Untuk dapat
memahami hal ini terlebih dahulu kita harus mengerti tentang keberadaan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang wyapi wyapaka dan nirwikara. Tuhan itu berada
dimana-mana diluar dan di dalam ciptaannya dan mengatasi ciptaannya. Tuhan
berada di dalam tri bhuwana dan di luar tri bhuwana. Tempat pemujaan adalah
tempat umat memusatkan segala potensi dirinya untuk dapat menghayati keberadaan
Tuhan seperti itu. oleh karena itu tempat pemujaan adalah lambang tri bhuwana.
Jeroan pura (halaman paling tengah) sebagai simbol dari swahloka, jaba tengah
(halaman tengah) bhwah loka, dan jaba sisi (halaman paling luar adalah lambang
bhur loka.
B. Fungsi Tempat suci.
Telah diuraikan secara umum dalam
bab I dari buku kecil ini bahwa fungsi tempat pemujaan adalah sebagai sarana
untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan untuk memuja roh suci
leluhur dalam segala tingkatannya. Disamp[ing fungsi umum tersebut tempat
pemujaan juga mpy fungsi khusus.
Fungsi
khusus adalah untuk meningkatkan kwalitas kesucian umat baik sebagai makhluk
individu maupun makhluk sosial. Sebagai makhluk individu umat Hindu wajib
mengusahakan dirinya secara individu menghubungkan dirinya dengan roh suci
leluhurnya dan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hubungan yang bersifat
individu ini dimaksudkan agar Hyang Atma yang berada pada diri manusia (bhuwana
alit) dapat berhubungan dengan Hyang Widhi sebagai sumber sang hyang atma. Yang
nantimnya akan menjadi potensi besar dalam diri manusia untuk menyucikan
dirinya. Diri yang suci itulah yang akan mampu melahirkan tingkah laku yang
baik.
Tempat
suci sebagai sarana yang potensial untuk menggetarkan kekuatan sang hyang atma
agar dapat menguasai unsur-unsur diri manusia yang lainnya.
Tempat
pemujaan yang benar adalah tempat pemujaan yang memiliki unsur-unsur kesucian
yang dapat menggetarkan kesucian sang hyang atma yang bersemayam dalam
padmaherdaya setiap orang.
Tempat
pemujaan adalah sebagai tempat untuk membangkitkan kekuatan sang hyang atma
agar getaran kekuatan Hyang Widhi dapat diterima oleh setiap orang yang mampu
menyucikan dirinya.
Fungsi
tempat pemujaan disamping sebagai tempat menyucikan diri secara individu juga
dapat sebagai tempat untuk meningkatkan kwalitas diri sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan hubungan sosiologis dengan sesamanya dan alam lingkungannya.
Sebagai makhluk sosial setiap umat Hindu dimotivasi secara spiritual oleh
fungsi tempat pemujaan. Umat dapat berhubungan satu sama lainnya dalam memenuhi
kebutuhan dirinya untuk saling kenal mengenal sehingga lewat tempat pemujaan
itu mrk dapat mewujudkan kerukunan untuk mendapatkan suasana kehidupan bersama
yang aman tentram dan damai. Keadaan yang aman, tentram dan damai amat
dibutuhkan untuk menumbuhkan nilai-nilai material dan nilai-nilai spiritual
sebagai dasar untuk meningkatkan kwalitas hidup ini.
Tempat pemujaan juga berfungsi untuk
meningkatkan berbagai keterampilan.
Hal
ini disebabkan karena di tempat pemujaan itu dilangsungkan upacara-upacara
keagamaan itu ada yang berupa upacara puja wali atau piodalan. Piodalan itu ada
yang dilakukan berdasarkn perhitungan wuku dan ada yang didasarkan perhitungan
sasih.
Piodalan yang didasari pada
perhitungan wuku dilakukan setiap 210 hari sekali. Sedangkan piodalan yang
didasarkan pada perhitungan sasih dilakukan satu tahun sekali.disamping tempat
pemujaan memiliki pujawali atau piodalan juga sebagai tempat dilangsungkan
upacara-upacara keagamaan yang lainnya. Upacara keagamaan itu misalnya
merayakan suatu hari besar keagamaan seperti galungan, kuningan, siwa latri,
saraswati, pagerwesi dan lain-lain.
Pada waktu perayaan-perayaan
keagamaan itulah tempat pemujaan itu berfungsi secara tidak langsung untuk
mengembangkan berbagai keterampilan. Keterampilan yang dapat dikembangkan
seperti keterampilan mengatur berbagai kegiatan dan keterampilan teknis.
Keterampilan
mengatur atau mengkordinir berbagai kegiatan yang menyangkut pelaksanaan
upacara keagamaan. Dalam bidang ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang
terlatih untuk mengatur sesuatu pekerjaan yang menyangkut orang, materiil dan
juga sistem management. Karena setiap kegiatan upacara minimal ada tiga
manggalaning yadnya.
Tri
manggalaning yadnya yaitu :
1.
Sang
sadaka : pendeta yang akan memimpin secara ritual, upacara keagamaan itu.
2.
Sang
Widya : tukang banten yang akan membuat dan mengatur upakara atau sesaji.
3.
Sang
Yajamana : umat yang menyelenggarakan upacara keagamaan itu.
Disinilah umat akan mendapatkan
latihan secara langsung untuk mengembangkan keterampilan managementnya agar
semua kegiatan dapat dikomodasikan dan dikordinasikan secara baik agar upacara
itu berlangsung dengan sukses.
Keterampilan
managemen itu meliputi keterampilan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan,
pengawasan dan keterampilan penilaian segala upacara.
Kegiatan upacara ditempat pemujaan
juga memberikan latihan untuk mendapatkan keterampilan tekhnis.
Keterampilan
tekhnis itu misalnya :
1.
Etika dan tata susila.
Dalam kegiatan upacara ditempat suci umat mendapatkan
pendidikan etika dan tata susila untuk menghadat pendeta, pemangku dan tukang
banten. Etika menyampaikan undangan kpd pihak-pihak yang diharapkan hadir dalam
kegiatan upacara seperti para tamu dan sekehe-sekehe kesenian yang dapat
memeriahkan upacara. Etika dan tata cara menyambut tamu, pendeta tukang banten
dan lain-lain.
2. Mengatur tata ruang
dengan dekorasinya.
Tata ruang dan dekorasi dalam kegiatan
upacara dalam agama Hindu harus mengikuti ketentuan – ketentuan tersendiri.
Tata ruang itu misalnya menyiapkan tempat bnten di jeroan Pura besrta dengan
dekorasinya, tata ruang untuk membuat benten, tata ruang untuk menempatkan
tamu, tempat kesenian, tata ruang untuk menyiapkan berbagai jenis hidangan dan
lain-lain.
3. Tata Busana : seperti
mengatur busana pelinggih, busana tatkala menghadap pendeta, pemangku, tukang
banten, dalang dan sekeha kesenian lainnya.
Busana menerima tamu atau busana tat
kala menjadi tamu atau busana tat kala bersembahyang.
4. Tata Bhoga dan tata
hidangan.
Kegiatan upacara juga memberikan latihan keterampilan
untuk menyiapkan masakan baik untuk kelengkapan banten, kepentingan para tamu,
hidangan untuk pendeta, tukang banten, sekeha kesenian dan hidangan untuk
kepentingan para penyelenggara upacara itu sendiri. Dalam menyiapkan tata bhoga
dan tata hidangan ini terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang harus diikuti,
baik menyangkut tata boga dan tata hidangan untuk kelengkapan upakaranya, untuk
pendeta, tukang banten maupun para atiti yadnya (tamu upakara).
C. Pengelompokan
Tempat Pemujaan.
Tempat pemujaan kalau dikelompokkan
berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi dua yaitu untuk tempat memuja Tuhan
(Dewa Prastitha) dan atma prastitha tempat pemujaan roh suci leluhur. Inilah pembagian
pura yang terpenting. Ditinjau dari karakternya tempat pemujaan itu ada empat
kelompok yaitu :
1.
Pura
kawitan yaitu tempat pemujaan yang penyiwinya ditentukan oleh ikatan “wit” atau
leluhur berdasarkan garis kelahiran (geneologis), seperti sanggah / merajan,
pura ibu, dadia, padharman dan yang sejenisnya.
2.
Pura
Kahyangan desa (teritorial) yaitu pura yang disungsung oleh desa adat seperti
kahyangan tiga (pura desa, pura Puseh, pura dalem).
3.
Pura
swagina (fungsional) yaitu pura penyiwinya terikat oleh ikatan kesamaan swagina
(kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam sistem mata pencaharian hidup
seperti pura subak, pura melanting, pura alas arum dan lain-lain.
4.
Pura
Kahyngan jagat adalah tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala
manifestasinya seperti sad kahyangan, dang kahyangan, pelinggih penyawangan
seperti yang terdapat dikantor-kantor.
Penglompokan pura disamping untuk
menjabarkan pemnujaan Tuhan dengan manifestasinya dan pemujaan leluhur juga
memiliki makna sosial budaya yang luhur.
Penglompokan
tempat pemujaan Hindu ini bukan merupakan perwujudan dari suatu kepercayaan
polyteisme. Pengelompokan tempat pemujaan ini benar-benar merupakan upaya umat
Hindu untuk mendaya gunakan kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
meningkatkan mutu hidupnya.
Kemaha-kuasaan dan kesucian Ida Sang
Hyang Widhi Wasa benar-benar dijabarkan ke dalam kehidupan bersama sehingga
langsung dapat menyentuh semua lapisan kehidupan manusia.
Adanya berbagai kaerakter pura di Bali
bermakna pula untuk menyatukan umat sesuai dengan pengelompokan sosialnya. Pura
kawitan merukunkan dan menyatukan umat menurut keluarganya. Kemulan taksu
menyatukan keluarga dalam suatu pekarangan tempat tinggal dan sampai pada pura
padharman sebagai lambang persatuan satu keluarga besar yang berasal dari satu
clan. Pura kahyngan desa menyatukan umat dalam satu desa adat atau desa
pakraman. Pura swagina bermakna pula menyatukan umat yang memiliki kesamaan
profesi. Seperti misal pura subak, untuk para etani sawah, pura alas arum untuk
petani kebun, pura melanting untuk para pedagang.
Pura kahyangan jagat disamping
fungsi utamanya untuk memuja berbagai manifestasi Tuhan juga menyatukan umat
secara universal dengan tidak memandang asal keluarganya, asal desanya maupun
asal kekaryaannya (profesinya). Pengelompokan tempat pemujaan berdasarkan
kharakternya dapat disimpulkan bermakna ganda yaitu sebagai tempat memuja
manifestasi Tuhan dan leluhur serta tempat mempertemukan umat dalam satu
lingkungan keluarga, satu lingkungan desa pakraman, satu profesi dan menyatukan
umat secara universal.
III. PEMERAJAN TEMPAT PEMUJAAN
LELUHUR.
A. Landasan
Konsepsional Pendirian Pemerajan.
Pendirian pemerajan didasarkan pada
adanya pengertian bahwa atma itu berproses untuk kembali pada asalnya yaitu
Paramatma. Di dalam berbagai prasasti di Bali ada disebutkan istilah “Sidha
dewata”. Kata Sidha Dewata ini berarti mencapai alam dewa atau berada pada alam
Hyang Widhi.
Roh
atau atma yang telah suci atau sidha dewata inilah yang dipuja di pemerajan.
Pada jaman Hindu di Jawa pada masa
lampau roh raja yang telah dianggap suci distanakan di Candi atau juga disebut
Sudharma.
Hal
ini dapat diperhatikan pada keterangan prasasti karang tengah (842. M) yang
menyebutkan adanya bangunan suci “kemulan ibumis ambara. Bangunan suci itu
diduga oleh para akhlisbg Candi Borobudur tempat pemujaan dibnasti raja-raja
saelendra.
Pendirian
bangunan suci untuk roh suci raja yang telah memasuki alam ketuhanan disebutkan
pula dalam prasasti Kintamani A yang berbunyi : “… sang ratu sang sidha dewata
sang lumah diair madatu”.
Artinya
: sang raja belaiu yang telah memasuki alam dewata beliau dicandikan di air
Madatu.
Demikian
pula pendirian Candi sebagai stana para raja yang telah suci rohnya atau
mencapai sidha dewata disebutkan dalam prasasti-prasasti yang lainnya seperti
prasasti Batuan, prasasti trunyan, prasasti gunung kawi dan lain-lain.
Disamping
prasasti pendirian Candi sebagai stana roh suci disebutkan pula dalam beberapa
naskah lontar sebagai berikut :
Dalam
naskah negara kertagama 40.5 disebutkan “……..kala niran mantuk ing swarga
loka…….sang dhinarma dwaya ri kagenengan.
Artinya
: Pada saat beliau (sang raja) kembali ke alam sorga, ……beliau didharmakan di
kagenengan.
Jadi raja yang dibuatkan Candi atau
Dharma adalah yang telah suci atau menswarga loka (alam kedewaan). Dalam
pupuh-pupuh yang lainnya juga masih banyak menguraikan tentang pendirian Candi
bagi raja yang telah wafat dan rohnya dianggap mencapai alam kedewaan. Seperti
dalam pupuh 41,1 menyebutkan : anusapati dicandikan di kidal. Dalam pupuh 41,4
disebutkan raja wisnu wardana wafat dfan kembali kealam dewa (mulihing sura
laya) dan dibuatkan Candi di waleri dalam wujud Siwa dan Bhuda.
Adapun
proses pembuatan Candi adalah dilakukan setelah upacara sradha. Candi dalam
istilah tekhnis bagi raja yang dibuatkan Dharma adalah dhinarma.
Adapun latar belakang kepercayaan
yang mendasari pendirian Candi itu adalah perpaduan kepercayaan purbha sebelum
agama Hindu masuk ke indonesia dan dengan kebudayaan Hindu setelah masuk ke
indonesia. Sebelum masuknya agama Hindu ke indonesia pada jaman Neolithicum dan
jaman megalithicum telah ada suatu kepercayaan bahwa gunung itu adalah alam
arwah.
Oleh
karena itu nenek moyang mereka yang telah wafat dibuatkan tempat pemujaan yang
disebut dalam istilah arciologinya “terras pyramid”.
Bangunan
tersebut didirikan di lereng-lereng gunung.
Setelah berkembangnya agama Hindu di
Indonesia, terjadilah perpaduan kebudayaan dimana kepercayaan akan gunung
sebagai alam arwah tetap berlanjut dan juga dilambangkan sebagai alam dewa.
Karena menurut kepercayaan agama Hindu gunung itu dilambangkan sebagai alam
dewa.
Candi
adalah bentuk tiruan dari gunung mahameru, stana dari dewa-dewa. Karena itulah
raja yang dicandikan adalah raja yang telah suci mencapai alam dewa. Secara
ritual roh sang raja dianggap suci setelah dilangsungkan upacara sradha.
Upacara sradha adalah upacara tahap kedua setalah sang raja wafat.
Menurut
keterangan Negara Kertagama upacara sradha untuk sang raja dilangsungkan
setelah sang raja meninggal 12 tahun.
Sehubungan
dengan upacara sradha ini dibuatlah “puspa sarira” sebagai simbolis dari badan
roh sang raja. Puspa sarira itu dibakar dan abunya dihanyut. Adapun tujuan dari
upacara sradha untuk membebaskan atma atau roh sang raja dari ikatan keduniawian.
Hal ini merupakan penjabaran dari konsepsi moksa atau bersatunya kembali sang
hyang atma dengan paramatma. Dalam negara kertagama ditegaskan bahwa upacara
sradha bertujuan mengantarkan roh sang raja mencapai siwa loka atau siwa
budhaloka. Setelah upacara sradha selesai barulah sang raja dibuatkan arca
perwujudan karena rohnya telah dianggap kembali dengan dewa titisannya. Dalam
rangka pembuatan arca perwujudan inilah lalu didirikan Candi (Dharma). Secara
konsepsional upacara sradha identik dengan “mamukur” di Bali. Kesamaan konsepsi
antara upacara “memukur” di Bali dan upacara sradha di jawa pada masa lampau
telah dibuktikan oleh beberapa akhli seperti : Dr Martha. A. Musses.
Upacara memukur atau atma wedana
menurut lontar siwa tattwa purana adalah lima tingkatan dari yang kecil sampai
yang besar yaitu “ngangsen”, nyekah, mamukur, maligia dan yang terbesar adalah
ngluwer. Di masyarakat juga disebut upacara ngeroras atau upacara penileman.
Tujuan upacara memukur, identik dengan tujuan upacara sradha yaitu
menghantarkan roh mencapai alam dewata. Kalau waktu upacara ngaben roh itu
disebut pitra atau pitara setelah upacara memukur roh atau sang hyang atma
disebut dewa pitara artinya pitara yang telah mencapai alam dewa.
Di dalam lontar ligia disebutkan bahwa
upacara memukur mengantarkan roh mencapai alam yang disebut “Acintya Bhuwana”.
Dalam Lontar ligia disebutkan : “…..sang dewa pitara murumungsi ana ring
acintya bhuwana”.
Artinya
: Sang dewa pitara melayang menuju alam acintya. Sedangkan dalam lontar bumi
kemulan, disebutkan “…..rikama pisan lawan dewa hyangnya nguni”.
Artinya
: Disana atma manunggal dengan dewa hyangnya dahulu.
Setelah
roh mencapai tingkatan dewa pitra atau sida dewata dilanjutkan dengan upacara
yang disebut dewa pitara pratista. Upacara dewa pitra pratista itu adalah
menstanakan roh suci (dewa pitara) di kemulan. Menstanakan atau upacara
dewapitarapratista diuraikan secara jelas di dalam lontar purwa bumi kamula
sebagai berikut :
……….iti
kramaning ngunggahaken pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung mwang
mamukur, ring tugtug rowelas dinanya sawulan pitung dinanya kunang wenang
magawe pabanten mamunggahaken pitra agung alit, lwir pabanten kadi piodalan
dewa ……….
Artinya :
Inilah
tata cara menstanakan roh suci di kemulan, setelah melakukan upacara nyekah
atau memukur ketika sudah mencapai 12 hari boleh juga setelah satu bulan tujuh
hari patutlah membuat upacara menstanakan roh suci besar atau kecil. Adapun
upacaranya seperti piodalan dewa.
Berdasarkan pemikiran tentang pendirian
Candi di Jawa, yang diidentikkan dengan upacara dewa pitra pratista di Bali
maka amat jelaslah bahwa yang distanakan di pemerajan seperti di merajan
kemulan adalah roh suci yang telah mencapai dewa pitara.
B. Pengertian
dan fungsi pemerajan.
1.
pengertian pemerajan.
Pemerajan sebagai istilah untuk
menyebutkan tempat pemujaan keluarga adalah tergolong istilah dalam bahasa
“singgih” atau Bahasa Bali halus. Sedangkan dalam Bahasa Bali “kapara” atau
bahasa lumrah disebut sanggah. Pemerajan atau sanggah adalah tempat pemujaan
untuk suatu keluarga.
Pemerajan
bukan merupakan tempat pemujaan umum yang berlaku bagi setiap umat Hindu.
Pemujaan hanya tempat pemujaan untuk umat Hindu yang memiliki ikatan keluarga
yang sama. Pemerajan adalah “ulun karang” kalau dumpamakan seperti manusia
pemerajan itu dapat diumpamakan sebagai kepala atau hulunya pekarangan.
Pemerajan memiliki tingkatan-tingkatan menurut besar kecilnya keluarga
penyungsung dan bentuk serta kelengkapan dari pelinggih-pelinggih yang ada.
Dalam lontar siwagama ada disebutkan tingkatan-tingkatan pemujaan keluarga
sebagai berikut :
….Bhagawan
menohari, siwapaksa sira, kenedwa kinon desri-gondara-pati umarja nang sad
kahyangan, manista madya motama, mamari wata swadharma ning wwang kabeh, lyan
swadyaning wang saduluhing wang kawandasa kinon magawaya panti krama, wwang
satengah bhaga rwang puluhing saduluk, ibu wangunanika, nistha sapuluhing
saduluk, sanggar pratiwi wagunan ika, wwang kamulan pamanggalannya sowang.
Artinya :
Bhagawan
manuhari beliau beraliran siwa dengan tugas disuruh oleh sri gondara pati,
memelihara dengan baik sad kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban
semua orang, dan lainnya lagi ialah asal penjelmaan seseorang. Setiap 40
pekarangan rumah disuruh mendirikan panti adapun setengah bagian dari iotu
yakni 20 pekarangan rumah supaya mendirikan palinggih ibu, kecinya 10
pekarangan rumah pelinggih pertiwi supaya mendirikan dan kemulan pelinggih pada
masing-masing pekarangan rumah.
Berdasarkan keterangan siwa gama
tersebut kalau kita sesuaikan kenyataan di masyarakat maka yang disebut
pemerajan atau sanggah adalah tempat pemujaan yang letaknya di hulu rumah
pekarangan, yang pelinggih pokoknya adalah kemulan. Sedangkan pada tingkatan
yang lebih tinggi dimana “ gedong pratiwi” sebagai palinggih utamanya sudah
disebut dengan pemerajan agung atau sanggah gede.
Kalau palinggih ibu dan panti sudah
sering umat menyebutkannya pura ibu atau pura panti. Yang dibahas dalam buku
kecil ini adalah pemerajan atau sanggah yang letaknya di hulu rumah. Tempat
pemujaan leluhur yang tertinggi adalah pura padharmaan di Besakih yang
jumlahnya 13 komplek pura padharmaan.
2.
Fungsi pemerajan.
Fungsi pemerajan adalah untuk memuja
roh suci leluhur atau atma yang telah disebut dewa pitara (Sidha Dewata).
Sebagai telah kami sebutkan didepan, palinggih utama di pamerajan adalah
palinggih kemulan. Dalam beberapa sumber pustaka disebutkan yang distanakan di
kemulan Sang Hyang Atma (roh suci). Yang distanakan di kemulan untuk dipuja
bukanlah dewa akan tetapi pitara yang telah mencapaui alam dewa, oleh karena
itu disebut dewa pitara. Fungsi pemerajan kemulan sebagai tempat sang hynag
atm,a disebutkan dalam beberapa lontar sebagai berikut :
Lontar
gong besi menyebutkan sebagai berikut :
……….Ngaranya
ira sang atma, ring kamulan tengen Bapanta nga sang paratma ring kamulan kiwa
ibunta ngaran sang Siwatma, ring kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa
ragane mantuk ring dalem dadi sang hyang tunggal nunggalang raga ………
Artinya :
Namanya
beliau sang atma, pada kemulan kanan sebagai bapak adalah para atma, pada
kemulan kiri sebagai ibu namanya siwa atma, pada kemulan tengah wujudnya adalah
sang atma, menjadi ibu bapak pada wujudnya sang hyang tunggal mempersatukan
diri.
Penjelaskan yang hampir sama disebutkan
pada lontar usana dewa sebagai berikut :
Ring
kemulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang
paratma, ring kemulan kiwe ibu ngaran sang siwatma, ring kamulan tengah ngaran
ragannya, tu brahma dadi meme bapa maraga sang hyang tuduh.
Artinya :
Pada
kemulan nama beliau adalah sang atma, dikemulan sebelah kanan adalah linggih
para atma adalah bapak. Dikemulan ruang sebelah kiri adalah linggih siwa atma
adalah ibu, di kemulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi ibu bapak yang berwujud
sang hyang tuduh.
Selanjutnya dapat pula kita tambahkan
disini penjelasan lontar siwa gama sarga 10 yang berbunyi sebagai berikut :
“…….Kramania sang pitara mulihang
batur kamulannya nguni.
Artinya :
Kemudian
sang pitara kembali pada tempat kemulannya dulu.
Dari penjelasan beberapa kutipan
lontar tersebut dapatlah disimpulkan bahwa yang disembah melalui tempat
pemujaan pemerajan kemulan adalah sang hyang atma yang telah mencapai alam
kedewaan. Tujuan utama dari menstanakan roh suci leluhur di kemulan adalah agar
keturunan dapat menyembah roh suci leluhurnya. Karena amat besarlah pahala
orang yang bakti pada leluhurnya. Kalau kurang bhakti pada leluhur apalagi
tidak menstanakan di kemulan maka kesengsaraan hiduplah yang akan dialami. Hal
ini ditegaskan dalam lontar purwa bumi kemulan sebagai berikut :
Ring
wus mangkana, ikang daksina pengadegan sang dewa pitara tinuntunakena maring
sanggah kamulan, yan lanang unggahakena maring tengen, yan wadon unggahakena
maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni, winastu jaya jaya de sang
pandita kina bhaktyanana mwah dening swargannya mwang santana nira. Telas
mangkana, tutug saparikramanya, puja simpen pralina kadi lagi. Ikang adegan
wenang lukar sapokaranya wenang geseng akena juga, pushadika, wina dahan nyuh
gading saha kawangi pendem ring ulwaning sanggah kamulan saharamnya dening
kidung kakawin sahawruhanira. Mangka kramanya benering kaprawrtinta marakrti
ring kawitan, yan tan samangkana tan tutug ikang pali-pali sang dewa pitara,
maneher sira gawang tan molih unggwen tan ana pasenetanya, dadi kasambatsara
santanannya mwang wandu warganya, pada ya katepu tegah de sang guru pitaranya,
ya dadi gering ambeda-beda tan manut tataning ashoda, metu gering mangyat
mangyut amung panglaku, amungsangkrama, ayan, lwang mwang kena gring angrerepe
edan-edanan, kena bayu sangkara, ogan tungah, anglinyep mwah kadikmeling kene
sungsung baru satus akutus kwehnya susung hane ika pada tinahanan pwa dena
sanggahnya kowos boros sakwehning raja drwenya henti tampakrama, satata rumasa
kurang ring pangan kinun, apan kerugan dening kala bhuta mwang dengen. Apan
sang dewa pitaranya seaawase tan ane linggih, tan ane jeneknya dening santannya
kurang tuna prakerti tuna pangewruh, tuna pangasa kewala wruh mangrasani wareg
mwang lapa tan maphala prawrti ring raga sarira, tan pakrti ring kawitan.
Artinya :
Setelah
itu daksina palinggih sang dewa pitara itu distanakan di kemulan, kalau laki
(roh suci) distanakan di ruang sebelah kanan, kalau perempuan distanakan
diruang kiri (dari kemulan) disana bersatunya dengan dewa hyangnya dulu, oleh
sang pendeta diberikan puja jaya-jaya, hendaknya di sembah oleh semua warga
keturunannya. Setelah demikian selesai tata caranya, dan barulah dilakukan
pralina dengan puja penyimpenan. Daksina palinggih itu boleh di “lukar” terus
dibakar, abunya dimasukkan ke dalam kelapa gading disertai dengan kuwangen lalu
ditanam dibelakang sanggah kemulan dibarengi dengan kidung kekawin yang
diketahui dengan keluarga. Begitulah caranya suatu cara yang benar untuk berbhakti
pada leluhur. Kalau tidak seperti itu tidaklah selesai upacara untuk dewa
pitara, sang dewa pitara akan berkeliaran tidak mendapatkan tempat tidak ada
tempatnya yang pasti, maka diumpatlah keturunan dan keluarganya, semuanya
tertimpa penyakit disakiti oleh dewa pitaranya, itulah menyebabkan datang
penyakit yang aneh-aneh tidak bisa diobati menurut ketentuan usadha. Muncul
penyakit ajaib, tingkah laku yang tidak patut, gila-gilaan, hati rusak, ogan,
tunggah, ayan, bingung, sakit lemah, murung, sakit ingatan, susung baru dan
menyebabkan boros kekayaannya habis tanpa sebab, selalu merasa kurang maka dan
minum sebab telah dirusak oleh buta kala karena selamanya dewa pitara tidak
mempunyai tempat. Atau tempatnya tidak menentu karena keturunannya kurang bhakti,
kurang pengetahuan, kurang perasaan, karena hanya tahu merasakan kenyang dan
lapar, tidak berjasa pada diri sendiri dan tidak pula bhakti kepada leluhur.
Dari penjelasan lontar purwa bhumi
kemulan ini, amat teranglah bahwa salah satu fungs dari pada merajan adalah
sebagai tempat menstanakan roh suci leluhur (dewa Pitara) yang dilakukan pada
palinggih kemulan.
Tujuan
dari pada “ngelinggihang” dewa pitara di kemulan adalah agar ditegaskan dalam
kalimat “kinebaktenana dening swarganya mwang santananya”.
Makna
dari menstanakan dan memuja leluhur di kemulan adalah untuk mendapatkan
kerahayuan hidup. Menurut ajaran agama Hindu leluhur yang tidak distanakan dan
tidak dipuja ditempat suci akan dapat menimbulkan bencana bagi kehidupan
manusia di dunia. Fungsi pemerajan disamping untuk menstanakan roh suci leluhur
(Dewa Pitara), untuk disembah oleh keluarga dan keturunan juga berfungsi untuk
melangsungkan upacara perkawinan. Upacara perkawinan yang dilangsungkan di
pemerajan dihadapan palinggih kemulan adalah upacara padengen-dengenan atau
makala-kalaan.
Upacara perkawinan khususnya
pakala-pakalaan dilangsungkan dihadapan palinggih kamulan atau dinatar
pemerajan bertujuan untuk memohon suksesnya cita-cita perkawinan itu. Salah
satu tujuan perkawinan adalah mendapatkan keturunan. Keturunan yang diharapkan
adalah keturunan yang utama penjelmaan dari leluhurnya yang telah suci di
kemulan.
Upacara
perkawinan dihadapan kamulan dilangsungkan dengan menyentuh upakara “kala
sepetan” dengan kaki kedua mempelai. Makna upacara ini kalau ditinjau dari puja
pengantarnya adalah lambang penyucian ke dua mempelai termasuk benih (sukla dan
swanita) yang dikandung oleh kedua mempelai.
Penyucian
diri dan benih yang dikandung oleh kedua mempelai adalah amat penting agar
cita-cita perkawinan untuk mendapatkan keturunan yang utama dapat tercapai.
Disamping itu dalam upacara “makala-kalaan” terdapat upacara menanam kunir,
keladi dan andong dibelakang palinggih kemulan. Makna upacara ini adalah
menanam bibit untuk mendapatkan keturunan. Salah satu keyakinan agama Hindu
adalah mengajarkan tentang punarbawa atau percaya pada penitisan kembali
leluhur yang telah meninggal.
Leluhur
yang menitis melalui keturunannya. Hal inilah yang menyebabkan upacara
perkawinan itu dilangsungkan dihadapan kamulan agar yang menitis dan menjelma
adalah leluhur yang telah suci. Disamping fungsi pemerajan sebagai tempat
melangsungkan upacara perkawinan juga sebagai tempat upacara tuwun tanah bagi
si bayi untuk kepertama kalinya. Upacara tuwun tanah dilangsungkan ketika si
bayi sudah berumur satu oton atau 210 hari. Makna upacara ini adalah untuk
memohon perlindungan ibu pertiwi dan bapa akasa atas kehidupan si bayi di dunia
ini. Permohonan itu disaksikan pula oleh bhatara hyang guru di kamulan. Upacara
tuwun tanah ini dilakukan dengan merajah atau melukis tanah dengan
bedawangnala dan menutup si bayi dengan
guwungan sudamala yang dibuat dari sangkar ayam diikat dengan sampian.
Demikianlah
beberapa fungsi dari merajan yang ditandai oleh adanya palinggih kamulan. Disamping
itu di pemerajan terdapat palinggih taksu dan ngerurah.
Taksu
adalah stana dari sang kala raja yaitu lambang sumber energi. Kala artinya
energi atau kekuatan, juga kata kala artinya waktu. Funghsi dari pada taksu
adalah sebagai palinggih untuk memohon kpd Tuhan Yang Maha Esa untuk dianugrahi
kekuatan spiritual, untuk memelihara semangat hidup yang penuh dengan godaan.
Sedangkan palinggih ngerurah adalah palinggih untuk sang catur sanak yang telah
suci sebagaimana halnya kemulan untuk palinggih sang atma yang sudah suci. Di
dalam lontar agastya prana disebutkan sang bayi mempunyai saudara yang disebut
sang catur sanak. Saudara empat sang bayi guna melindungi bayi dari berbagai
godaan dalam kehidupannya dari kecil sampai kembali ke asal.
Keadaan catur sanak selalu
menyesuaikan dan mengikuti perkembangan si bayi. Setiap upacara yang berfungsi
untuk meningkatkan setatus si bayi ada pula upacara yang ditujukan untuk catur
sanak. Setiap peningkatan status yang dicapai oleh si bayi. Catur sanakpun
mengikutinya.
Demikian
pula setelah manusia itu meninggal, catur sanakpun mengikutinya. Demikian pula
kalau orang yang meninggal itu diupacarai seperti Ngaben misalnya catur
sanakpun juga ikut diberikan upacara. Setelah ngaben (sawa / asti wedana)
dilanjutkan dengan upacara atma wedana (memukur) catur sanakpun ikut
diupacarai.
Setelah atma wedana dilangsungkan
maka upacara berikutnya adalah dewa pitara pratista yaitu menstanakan roh suci
dikemulan. Kalau atma yang telah suci distanakan di kamulan, catur sanak yang
telah suci di palinggih “Ngerurah”. Makna palinggih ngerurah adalah untuk
menstanakan sang catur sanak yang telah suci disebelah kiri dari kemulan. Sang
hyang atma yang telah suci berstana di palinggih ngerurah diharapkan dapat
dianugrahi kehidupan pratisantana atau keturunannya yang masih hidup.
Kalau
kita perhatikn dari sudut fungsi masing-masing palinggih di pemerajan ulun
karang ini kita akan mendapatkan suatu konsepsi peningkatan mutu hidup manusia
dengan penyucian spiritual.
Disamping
itu digambarkan pula bahwa roh yang kita sembah adalah roh leluhur yang telah
suci.
Mengapa
kita memuja roh leluhur yang suci ?. hal ini didasarkan pada pengertian bahwa
yang menyembah secara bertahap agar mencapai kesucian yang disembah. Karena
tujuan, akhir dari kehidupan manusia menurut pandangan agama Hindu adalah
bersatu dengan yang suci. Dewa pitara yang distanakan di pemerajan kemulan itu
karena telah mencapai alan kedewaan atau alam sang hyang tri murti, maka dewa
pitara itu diidentikkan dengan sang hyang tri murti. Bukan kamulan itu
palinggih tri murti. Mengidentikkan dewa pitara dengan dewa tri murti ini dapat
diterima karena dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan konsepsi moksa yaitu
bersatunya pitara / atma dengan dewa / Tuhan.
Karena dewa pitara itu identik dengan
sang hyang Tri Murti maka dewa pitara yang berstana di kamulan disebut bhatara
hyang guru. Bhatara hyang disini adalah dewa pitara itu sendiri dan bhatara
guru adalah dewa siwa, dalam fungsi beliau sebagai pendidik umat manusia.
Adanya
pengidentikkan dewa pitara dengan hyang tri murti dapat kita perhatikan dalam
puja ida pedanda yang digunakan untuk kamulan yaitu guru stawa.
Guru
stawa itu adalah sebagai berikut :
-
Om
dewa-dewa Tridewanam, tri linggatmanam tri purusa sudha nityam, sarwa
jagatjiwatmanam.
-
Om guru
dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru pantaranam dewam, guru dewa sudha
nityam.
-
Brahma
wisnu, Iswara dewa, jiwatmanam trilokanam sarwa jagat pratistanam sudha klesa
winasanam.
-
“Sarwa
roga wimurcatam, kala roga pratisthanam, moksa nam sarwa wisanthu, wighna dosa
winasanam.
Artinya :
-
Dewa-dewa
tiga dewa, dewa tri murti yang ada dalam lingga, tiga, dewa tri purusa, yang
senantiasa suci, menjiwai segenap isi dunia.
-
Dewa
yang memberi pengetahuan yang memberi wujud, yang memberi bumi tetap hidup,
yang menjadi asal mula, yang merupakan dewa di alam sunyata, dewa yang selalu
memberikan tuntunan suci.
-
Dewa
Brahma, Wisnu dan Iswara yang menjiwai tiga alam yang menjadi pangkal segala di
dalam dunia, yang membinasakan dan mensucikan kekotoran.
-
Segala
penderitaan dibuatnya tidak berdaya dan menyembuhkan kembali dari penderitaan
serta keburukan yang diproleh, menghindarkan dari semua racun, dosa dan
halangan semua dihilangkan.
C. Macam dan bentuk palinggih di
pemerajan.
Macam-macam dan bentuk palinggih di
pemerajan dapat digolongkan menjadi dua yaitu palinggih inti dan palinggih
pelengkap. Palinggih inti yaitu palinggih kamulan dan palinggih palengkap
adalah palinggih taksu, palinggih ngerurah dan kadang-kadang ada yang dibuatkan
palinggih pasimpangan pemujaan dewa-dewa di pura pasimpangan jagat Bali atau
palinggih penyawangan. Bentuk palinggihnya adalah berbentuk gedong sari
(masari) atau berbentuk Padma Panyawangan. Adapun macam-macamnya serta bentuk
daripada palinggih itu sebagai berikut :
1.
Kamulan.
Bentuk umum daripada bangunan
(palinggih kamulan) ini ada dua bentuk. Bentuk pertama bangunan kamulan biasa
yang bentuknya lebih sederhana. Bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu
bagian bawah di sebut bataran, bagian tengah merupakan badannya dan bagian atas
yang merupakan ruangan yang berjumlah tiga ruangan beserta atapnya. Bentuk yang
kedua disebut kamulan Banjah. Bentuknya lebih megah dari pada yang pertama dan
disebut kamulan agung. Kamulan Banjah bagian bawahnya atau batarannya lebih luas,
karena sebagian untuk letak badan palinggih dan sebagian untuk meletakkan dua
buah tiangun menyangga sebagian dari atapnya. Diatas Bataran terletak badan
palinggih. Bagian atas dari palinggih itu terdapat ruang tiga yang menyangga
setengah dari atap bangunan. Atap bagian depan disangga oleh dua buah tiang
yang bertumpu pada bataran palinggih. Kedua tiang panjang di depan itu disebut
Saka Anda.
2.
Taksu.
Dari segi bentuk bangunan pisik
palinggih Taksu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu :
a.
Taksu Tenggeng.
Taksu Tenggeng dibagi menjadi tiga
bagian yaitu bagian bawah disebut bataran, diatas bataran menggunakan sebuah
tiang yang menyangga semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Jadi taksu
tenggeng adalah palinggih yang di bagian bawahnya bataran, ditengahnya sebuah
tiang dan bagian atasnya sebuah ruangan yang beratap.
b.
Taksu Nyangkil.
Bentuk bangunannya hampir sama
dengan taksu tenggeng, Cuma ruangannya terdiri dari dua ruangan (rong) bagian
bawahnya bataran, bagian tengah disebut tiang (saka), di bagian atas dua buah
ruangan yang menyangga atap.
c.
Taksu Agung.
Bentuk banguanan dari taksu agung,
terdiri dari batarab dibagian bawah, dibagian tengah badan bangunan diatasnya
sebuah ruangan disangga oleh sepasang saka anda dan ditutupi oleh atap
bangunan. Penggunaan masing-masing bangunan palinggih taksu ini tergantung dari
latar belakang sejarah dari keluarga yang memiliki pemerajan tersebut. Meskipun
berbeda-beda bentuknya fungsi taksu adalah sama.
3.
Gedong / Padma.
Disudut dari pada pemerajan
diletakkan palinggih pasimpangan atau panyawangan. Bangunan pasimpangan atau
penyawangan ini umumnya digunakan oleh keluarga-keluarga tertentu. Sedangkan
yang lainnya kebanyakan tidak menggunakan. Bangunan pasimpengan digunakan
palinggih yang berbentuk Gedong Sari. Gedong sari ini bentuknya sama dengan
bentuk gedong yang lainnya. Bagian bawah adalah dasar atau bataran bagian
tengahnya adalah badan yang menyangga ruangan gedong yang bertiang empat dan
bagian atasnya adalah atap yang atasnya menciut lancip. Kalau atapnya berujung
tumpul namanya gedong catu. Fungsi gedong sari ini untuk persimpangan dewa-dewa
di pura kahyangan jagat. Dewasa ini disebelah kanan kamulan dikembangakan
bentuk palinggih panyawangan padma capah / padmasari. Padma capah atau padmasari
adalah berfungsi untuk penyawangan dewa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun
bentuk bangunan padmasari adalah sebagai berikut :
Padma
sari memakai satu ruangan dengan palih tiga yaitu palih taman, palih sancak
(madya), dan palih sari. Padmasari tidak menggunakan bedawang nala. Padma capah
hampir sama dengan padmasari, Cuma padma capah memakai palih dua yaitupalih
taman dan palih capah. Padma capah juga tidak menggunakan bedawangnala. Bahan
bangunan untuk tempat perhiayangan hendaknya menggunakan bahan yang terpilih,
kalau dari kayu gunakanlah kayu cendana, menyan, majegau, cempaka dan
lain-lain.
4.
Palinggih Ngerurah.
Bentuk palinggih ngerurah adalah
seperti tugu biasa, terdiri dari dasar sebagai bataran badan yang menyangga
sebuah ruangan (rong). Cuma atapnya yang sudut-sudutnya berisi caling atau yang
seperti tanduk, dan hal ini hanyalah terdapat dibeberapa tempat saja. Inilah
ciri khusus palinggih Ngerurah. Letaknya pada umumnya disebelah kiri dari
palinggih kamulan.
D. Tata cara Pendirian Pemerajan.
Mendirikan bangan suci atau tempat
pemujaan syarat-syaratnya lebih rumit sedikit dibandingkan mendirikan bangunan
rumah tempat tinggal. Pertama-tama tentang letak arealnya di dalam pekarangan
rumah. Sebagaimana yang disebutkan bahwa yang kita bahas dalam buku kecil ini
adalah pemerajan sebagai : ulun karang. Di dalam pekarangan rumah letak areal
pemerajan adalah bagian ulu atau keluan (uranus) daripada tempat rumah
pekarangan.
Menurut keyakinan agama Hindu yang
dimaksud keluwan adalah arah matahari terbit atau gunung. Matahari dan gunung
merupakan sumber kehidupan semua makhluk. Sumber matahari merupakan energi
kehidupan makhluk dan gunung sumber penampungan iar dan hutan. Untuk di Bali
selatan keluwan itu adalah arah Ersanya di sudut timur laut dari pada
pakarangan rumah. Setelah menentukan areal atau denah tempat pemerajan, barulah
dilangsungkan pembangunan pemerajan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Ngeruak
Karang.
b.
Nyukat
Karang.
c.
Nasarin.
d.
Memakuh.
e.
Ngurip-urip.
Penjelasan
masing-masing upacara diatas sebagai berikut :
a.
Upacara Ngeruak.
Upacara ini berfungsi melakukan
wisudha bhumi dan merubah status tanah yang diupacarai, dari tanah tegalan atau
tanah sawah dijadikan tanah tempat pemujaan atau pemerajan. Upacara ngeruak
termasuk upacara bhuta yadnya. Urutan upacaranya adalah sebagai berikut :
pertama melangsungkan upacara mecaru pangruak yaitu caru ayam brumbun lengkap
dengan runtutannya dengan urip 33 yang letaknya sesuai dengan urip bhuwana
(amanca desa). Kedua melangsungkan upacara byakala, durmenggala dan prayascita.
Dilengkapi dengan segehan agung dan penyambleh.
b.
Nyukat Karang.
Nyukat karang adalah mengukur dan
menentukan dengan pasti letak tiap-tiap palinggih sesuai dengan ketentuan
lontar Asta Dewa. Misalnya meletakkan kamulan ada yang menggunakan hitungan
tiga dari batas pekarangan. Kalau hal itui dipergunakan berarti menggunakan
perhitungan guru dari dasa wara.
c.
Nasarin.
Upacara meletakkan beberapa jenis
upakara sebagai dasar daripada bangunan suci itu. contoh upakaranya : banten
tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk-pauk, dengan
daging ayam biying yang dipanggang sampiayan tangga, banten ini dialasi dengan
peras. Canang pendeman ialah canang burat wangi, pengeraos, canang tubungan,
pasucian. Alat penyugjug terdiri dari cabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin
bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris. Sebuah bata merah dengan gambar
bedawang nala dengan ditulisi omkara dipunggung bedawang nala tersebut. Sebuah
bata merah yang lain disi gambar padma dengan tulisan dasaksara, sebuah batu
bulitan (batu hitam) diisi tulisan Tri aksara. Sebuah kelungah, kelapa gading
disi tulisan omkara, kelungah itu dikasturi airnya dibuang dan diganti dengan
wanghi-wangian seperti : burat wangi, menyan dan sebuah kuwangen, kekaras
berisi uang kepeng 11 kepeng, kelungah dan perlengkapannya dibungkus dengan
kain putih. Diikat dengan benang merah, hitam, putih dan kuning, dipuncaknya
diisi sebuah kuwangen dengan uang kepeng 33 kepeng, sebuah kuwangen yang berisi
tulisan omkara merta dengan uang kepeng 11 kepeng. Semua upakara dimasukkan
dalam lubang dasar palinggih dengan tata pelaksanaan sebagai berikut : lubang
dasar darpada palinggih terlebih dahulu diupakarai dengan byakala durmenggala
dan prayascita. Selanjutnya diukur dalamnya dengan alat penyugjug. Umat yang
akan menyungsung melakukan sembahyang. Sebua bunga alat sembah dimasukkan ke
dalam lubang. Diatas bunga tadi diisi tumpeng merah, disusun dengan kelungan
kelapa gading, batu bulitan, kewangen, canang pendeman dan terus ditimbun
hingga rata. Diatas timbunan upakara itulah dibuat bangunan seterusnya. Upacara
tadi dapat disederhanakan menurut petunjuk pendeta dan tukang banten.
Setelah bangunan selesai lalu
diupakarai dengan durmenggala, prayascita, pengambeyan, tumpeng guru, daging
itik putih diguling, tumpeng putih kuning. Ikannya ayam betina putih
dipanggang. Ajuman putih kuning, tipat kelanan, daksina dan canang pesucian
selengkapnya. Dengan demikian bangunan suci itu baru dapat dihaturkan canang
dan daksina.
d.
Memakuh / melaspas.
Banten pemakuhan : peras lis,
soroan, daksina, canang, lenge wangi, canang burat wangi dan keyipa kelanan,
caru ayam putih, eteh-eteh pemakuhan, bagia, orti, sap-sap, ulap-ulap, paso
anyar berisi air dan daun lalang sebelas helai, pengurip urip, darah ayam
putih, susur keramas, toya cendana, kumkuman, rantasan seperadeg, semeti,
pahat, andel-andel berisi benang, toya pemakuhan dari tukang yang membuat
sikut.
Cara
pelaksanaannya : pertma-tama menghaturkan toya pesaksian ke surya serta nunas
tirtha pengelukatan dan pengurip-urip. Melakukan pengelukatan, memukul
pasak-pasak di bagian hulu dari bangunan, memoleskan pengurip-urip, melis dan
perayascita durmenggala.
Pemangku memuja banten pemakuhan dan
pemelapas dan disertai dengan ngayabang sesajen pemelaspas. Upacara ditutup
dengan persembahyangan dan metirtha. Tujuan upacara pemelaspas adalah untuk
mensucikan bangunan setelah terbentuk pada waktu upacara upacara pemakuhan.
Kalau bangunan sudah suci maka diharapkan ida bhatara menurunkan wara nugraha
dan berstana ditempat pemujaan tersebut. Umumnya setiap 10 tahun sekali
mependam padagingan diulangi untuk tetap menjaga kesucian pura atau pemerajan
tersebut dan dijlanjutkan dengan upacara ngenteg linggih.
4.
Pedagingan.
Membuat dan mpn suatu upacara untuk
menanam pedagingan disuatu bangunan suci seperti palinggih-palinggih di
pemerajan harus dipimpin oleh sulinggih atau sang diksita (pendeta). Untuk
pedagingan padmasana, meru, palinggih ibu dan palinggih kemulan diuraikan dalam
lontar dewa tattwa sebagai berikut :
Mwah
pedagingan sanggah kamulan, pripih emas selaka tembaga, jarum tembaga, selaka,
wesi, pudhi mirah kalih, wangi-wangian, winadahan repetan putih, inulisan
wastra putih, ineket dening lawe tri datu, catur warna wenang, muwah praboting,
manusia dening sangkep, kowali waja, kawangen kalih, arthanya 200 sangkep,
saprakaryanya.
Artinya :
Lagi
pula pedagingan sanggah kemulan, lempengan emas, perak tembaga, jarum perak,
tembaga, besi, pudhi merah dua, bau-bauan harum, ditaruh dalam rapetan putih,
diikat dengan benang tiga warna atau empat warna, kewali baja, kewangen dua
buah, uang sesari 200 kepeng dan selengkapnya.
Di dalam lontar widhi papincatan
tentang pedagingan diuraikan juga tentang pedagingan kamulan menurut lontar widhi
Pepincetan diuraikan agak berbeda sedikit dengan Lontar Dewa Tattwa. Adapun
bunyi lontar tersebut adalah sebagai berikut :
Yan
lyanan ring padmasana, ring sanggah kemulan, ring tengah, pripih emas, slaka,
tambaga, jaum kadi pripih prabot manusia dena genep, wangiwangian, kawali waja,
winadahan sasukulan, ne ring kiwa, pripih wesi ring kiwa, masurat ongkara, ring
tengah selaka masurat ongkara, pada mependem, yang sanggah kamulan sang ratu
Brahmana, tunggal padagingannya, mwah sanggah wesya, sanggah kamulan sudra
pedagingannya pripih emas, pripih slaka tembaga, nanging geguntingan, podhi,
prabot undagi juga, wadahin pasukulan arthanya satak pitu likur.
Artinya :
Kalau
lain dari pada padmasana misalnya sanggah kemulan ditengah-tengah peripih emas,
perak, tembaga, jarum sesuai dengan peripih, tembaga, besi, pudhi merah dua,
harum-haruman, kewali baja ditempatkan pada sesukulan, disebelah kiri peripih
besi bertuliskan Ongkara, dikanan peripih tembaga bertuliskan Ongkara dan
ditengah peripih perak bertuliskan Mangkara semuanya ditanam. Sanggah kemulan
kaum ksatrya sama pedagingannya dengan kaum brahmana. Sanggah kemulan kaum
sudra dan wesya pedagingannya peripih emas, peripih perak, tembaga namun hanya
berupa guntingan kecil, podhi, perkakas pertukangan, ditempatkan pada
pasukulan, uang kepeng yang disertakan berjumlan 227 kepeng.
Demikian antara lain isi pedagingan
kemulan menurut lontar diatas dan ada lontar-lontar lain yang menguraikan
tentang pedagingan kemulan. Penerapan pedaginmgan disesuaikan dengan desa,
kala, patra.
IV. PEMERAJAN DAN KEHIDUPAN.
A. Pemerajan
sebagai pembina rohani.
Hidup adalah suatu perjuangan yang
panjang, untuk mencapai tujuan hidup. Apalagi kalau dikaitkan dengan tujuan
akhir daripada kehidupan ini. Untuk mencapai tujuan hidup itu, tuhan telah
memberikan kita jasmani dan rohani. Jasmani dan rohani ini adalah alat untuk
mencapai tn hidup. Dalam brahmana purana, disebutkan tubuh kita ini adalah alat
untuk mencapai Dharma, artha, kama dan moksa. Tujuan hidup itu dapat dicapai apabila
selalu ada keseimbangan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan, taiterya
upanisad mengajarkan :
Unsur
tubuh manusia dibangun dalam lima tahapan yaitu :
-
Anna
Maya : adalah unsur tubuh yang berasal dari makanan, harus dibangun dengan
makanan yang memadai.
-
Prana
maya adalah unsur tubuh yang lebih tinggi dari makanan yaitu tenaga. Pisik
haruis digerakkan agar tenaga menjadi seimbang dalam tubuh untuk menjamin
adanya jasmani sehat.
-
Manomaya
adalah unsur pikiran. Unsur pikiran ini lebih tinggi dari pada unsur tenaga
(prana) pikiran harus dibangun dengan ilmu pengetahuan.
-
Wijnana
maya adalah kebijaksanaan, pikiran yang terang karena berilmu haruslah
mendatangkan kebijaksanaan baik dalam perkataan, perbuatan dan pikiran.
-
Ananda
maya adalah kebahagiaan. Makanan yang baik akan mendatangkan tenaga yang baik
dan sehat, tenaga yang sehat mendatangkan pikiran yang kuat dan berilmu yang
nantinya mendatangkan kebijaksanaan dari kebijaksanaan inilah akan mendatangkan
kebahagiaan (ananda). Kalau disimpulkan uraian itu adalah anna maya dikuasai
oleh pranamaya, prana maya dikuasai oleh mana maya, mana maya dikuasai oleh
wijnyana maya, keadaan inilah yang melahirkan anada maya.
Sejalan dengan konsep ini Bhagawad
Gita II, 42 menyebutkan tentang pemeliharaan indria agar manusia hidup dengan
indria yang sempurna, kesempurnaan indira jangan melampui kesempurnaan pikiran
(manah), kesempurnaan pikran jangan melampui kesempurnaan budhi,
kesempurnaanbudi jangan melampui kesempurnaanatma.
Fungsi sanggah dan pemerajan adalah memotivasi
secara terus-menerus agar manusia selalu menjaga kekuatan rohaninya. Dalam
candogya upanisad disebutkan agar setiap hari melaksanakan persembahyangan atau tri sandya. Srautra
sutra mengajarkan setiap purnama dan tilem melakukan persembahyangan yang
disebut darsa purnamasa. Demikian berbagai pustaka suci Hindu mengajarkan
tentang perayaan-perayaan hari raya agama Hindu.
Kalau pemerajan benar-benar
difungsikan secara rutin untuk mengamalkan ajaran tattwa, susila dan upacara
agama maka pemerajan tempat terdekat bagi keluarga Hindu untuk mengamalkan
ajaran agama. Dengan demikian berarti pemerajan dapat mensucikan tubuh, indria,
manah dan budhi yang merupakan landasan sang hyang atma untuk menerima wara
nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
B. Pemerajan sebagai pemelihara
persatuan.
Dalam uraian di depan telah
disebutkan bahwa lontar siwagama mengajarkan pemujaan leluhur secara
bertingkat. Dalam satu pekarangan rumah didirkan pemerajan kemulan, sepuluh
pekarangan gedong pertiwi, dua puluh pekarangan mendirikan palinggih ibu dan
empat puluh pekarangan mendirikan panti. Ini berarti pemerajan merupakan tempat
pemujaan untuk keluarga yang berada dalam satu pekarangan rumah. Pemerajan
adalah tempat ayah ibu dan anak-anaknya melakukan kegiatan keagamaan. Pemerajan
dapat memotivasi suami atau ayah agar dapat mencurahkan kasih sayang dan
tanggung jawab kepada istri dan anaknya. Demikian pula istri dan anak-anak
dapat memanfaatkan pemerajan meningkatkan kesadaran akan swadharma
masing-masing.
Dalam kegiatan upacara keagamaan
suami istri dan anak-anak masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri. Tugas
suami istri dan anak-anak berbeda-beda, namun satu sama lain saling melengkapi.
Pembangunan
pemerajan baik memulainya maupun merehabilitasi dapat dikerjakan dan dipertanggung-jawabkan
oleh suami. Pembuatan upakara-upakaranya adalah menjadi kewajiban istri.
Sedangkan anak-anak menjadi pembantu kedua orang tuannya. Kerja sama antara
suami istri sudah disimboliskan dalam upacara perkawinan kedua mempelai di
pemerajan. Upacara metegen-tegenan dan mesuwun-suwunan, ketika dilangsungkan
upakara pekala-kalaan dihadapan kemulan adalah lambang kewajiban suami istri.
Setelah
mereka benar-benar menempuh hidup bersama, kerjasama itu mutlak dilaksanakan.
Pemerajan dalam prakteknya dapat memotivasi suami istri selalu bekerja sesuai
dengan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban itu suami istri saling bantu
membantu. Keharmonisan akan terganggu apabila salah satunya melanggar
kewajibannya itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
pemerajan adalah lambang persatuan keluarga dalam satu pekarangan rumah.
Persatuan dalam rumah akan merupakan modal dasar untuk persatuan keluarga lebih
luas ditingkat yang lebih tinggi.
C. Pemerajan sebagai pemelihara dan
pembina kebudayaan.
Kebudayaan meliputi tiga wujud. Tiga
wujud itu adalah pemikiran-pemikiran, kegiatan-kegiatan dan benda-benda yang
dihasilkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam suatu rumah
tangga Hindu di Bali, hidup diatas konsep pemikiran yang menghendaki keseimbangan
antara hubungannya dengan dunia spiritual dan dunia material (Rwabhineda).
Hubungan
dengan dunia spiritual meliputi pemujaan Tuhan / manifestasinya dan roh suci
leluhur. Hubungan dengan dunia material meliputi hubungan antara sesama manusia
dan dengan alam lingkungannya. Dari konsep hubungan hidup tersebut melahirkan
berbagai wujud aktivitas. Seperti upaya mendekatkan diri dengan Tuhan dan
leluhur, mendekatkan diri dengan sesama seperti dengan saudara, tetangga,
penguasa maupun pendeta. Disamping itu timbul upaya untuk melestarikan alam
lingkungan.
Hubungan dengan Tuhan / leluhur,
dengan sesama dan alam didasarkan pada konsep yadnya. Inti pokok dari perbuatan
yadnya adalah keihklasan. Dari tiga bentuk hubungan itulah melahirkan berbagai
bentuk kebudayaan. Seperti struktur bangunan dalam pekarangan. Masing-masing
bangunan dalam rumah sudah memiliki tempat tertentu, sesuai dengan konsep asta
bumi, asta kosala-kosali dan asta dewa. Dimana letak pemerajan, letak balai
gede, dapur, tempat tidur, tata penempatan pintu gerbang rumah dan lain-lain.
Kesemuanya itu didasarkan pada suatu pandangan yang dalam, luas dan penuh arti.
Pemerajan menumbuhkan etika dan tata susila, pakaian sembahyang, cuntaka,
meletakkan aturan (canang diatas segehan di bawah). Tata cara dengan pemangku,
pendeta dan lain-lain. Kesemuanya itu melahirkan eika dan tata susila.
Pemerajan mendorong lestarinya kesenian, kesenian yang berhubungan dengan
pemerajan seperti seni ukir, seni suara (kidung, kekawin), seni tari, seni
tabuh, seni hias (tata busana), seni dekorasi, seni jejahitan dan lain-lain.
Pemerajan mendorong ilmu pengetahuan astronomi seperti wariga. Pemerajan
mengingatkan kita akan Purnama Tilem, kejeng keliwon, tumpek, budha keliwon,
budha cemeng dan hari lainnya. Demikian pula pemerajan sebagai salah satu
pendorong umat Hindu mempelajari dan melestarikan wariga (baik buruknya hari).
V. PEMERAJAN DALAM PEROBAHAN ZAMAN.
A. Pemerajan dalam kehidupan pada
zaman kemajuan.
Hidup yang bertumpu pada ilmu
pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai kemajuan. Pada zaman modern
setiap gerak langkah kehidupan selalu didasarkan pada perhitungan yang
rational. Berdasarkan beberapa sumber lontar dan keterangan beberapa ahkli,
pendirian pemerajan, kahyangan tiga dan kahyangan jagat didirikan atas ajaran
Mpu Kuturan, kira-kira abad ke 11. tujuan utama kemungkinan dimaksudkan agar
setiap umat dapat dengan mudah dan langsung memenuhi kebutuhan hidupnya dalam
bidang spiritual. Dengan demikian umat dapat dengan mudah mendaya gunakan
kepercayaannya kpd Tuhan Yang Maha Esa untuk meningkatkan mutu hidupnya.
Kebutuhan hidup pada jaman lampau, tentunya sangat berbeda dengan zaman
sekarang (modern).
Sumber
kehidupan pada zaman lampau terutama di Bali adalah pada pertanian tradisional.
Mereka lebih banyak tergantung pada kemurahan alam. Keadaan hujan, cuaca,
musim, hama dan lain-lain. Sebagai akibatnya cara berpikirpun lebih banyak
menyadarkan diri pada alam. Mereka yakin bahwa keadaan alam tergantung pada
sang pencipta. Karena keyakinan itu rasa pasrah kepada takdir Tuhanpun mudah
berkembang. Kemarau panjang, banjir, gunung meletus, serangan hama, gempa dan
lain-lain, kejadian sulit dilawan oleh kemampuan manusia. Karena itu keadaan
alam yang memberikan kehidupan selalu dimohonkan oleh umat kepada Tuhan.
Dalam kehidupan modern sekarang ini,
beberapa keadaan alam yang mengerikan dapat diatasi dengan kemajuan ilmu dan
tehknologi. Meskipun ilmu pengetahuan dan tahknologi telah amat maju namuan
masih amat sedikit kesulitan-kesulitan hidup karena alam dapat diatasi oleh
manusia. Manusia dari zaman-ke zaman tidap pernah luput dari persoalan hidup.
Hidup itu merupakan suatu jarak yang amat panjang. Jarak antara kenyataan hidup
dan harapan hidup. Kesulitan ekonomi, kesulitan mengatasi penyakit, dalam
bidang komonikasi sudah tidak menjadi persoalan dalam hidup modern. Seharusnya
manusia sudah dapat hidup bahagia.
Namun keadaan manusia modern,
terutama dalam negara-negara industri maju mengalami penderitaan rohkhani yang
mendalam. Mereka merasa sepi dalam dunia ramai, diperbudak oleh hasil-hasil
industri dan ikatan sosialnya amat rapuh. Keteganganpun menimpa manusia dalam
idupnya di dunia modern ini. Di negara-negara maju, obat-obatan yang paling
laris adalah obat penenang. Ini menandakan teramat gelisahnya manusia dalam dunia
modern. Dalam keadaan manusia berlomba-lomba mengejar kemajuan individu, perlu
diimbangi dengan kegiatan keagamaan untuk mendekatkan individu mereka kepada
sang pencipta. Pemerajan perlu difungsikan untuk mengatasi jiwa tanpa kasih
lingkungan, jiwa yang dibelenggu, komersialisme, jiwa yang dibungkus oleh rasa
aku. Dengan lebih menonjolkan fungsi pemerajan, rasa sepi, keserakahan,
individualisme akan lebih dapat diatasi. Tiap-tiap Purnama Tilem, kejeng
keliwon, tumpek, budha keliwon, budha cemeng , Galungan, saraswati, Kuningan,
Siwalatri, bahkan tiap-tiap hari seluruh keluarga agar memanfaatkan pemerajan
dalam meningkatkan mutu hidup. Kegiatan-kegiatan di pemerajan tidak hanya
bersifat ritual semata-mata, tetapi lebih ditonjolkan dengan kegiatan-kegiatan
spiritual.
Pemerajan dalam zaman modern
sekarang ini, harus lebih ditonjolkan fungsinya, sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan spiritual umat. Janganlah pemerajan digunakan sebagai tempat untuk
meletakkan sesaji atau bebanten saja, setelah itu tidak ada apa-apa lagi.
Manfaat pemerajan untuk merenungkan diri serta hubungan dengan Tuhan dengan
sesam dan lingkungan. Kegiatan itu dapat ditempuh oleh keluarga untuk
sembahyang bersama, membicarakan arti dan makna setiap hari raya agama Hindu,
arti hidup ini, renungan bersama. Kamar mandi adalah tempat keluarga (anggota
keluarga) mandi. Ruang makan tempat anggota keluarga makan bersama. Pemerajan
tempat keluarga mensucikan rohkhani. Dengan demikian rumah dan pemerajannya
tempat keluarga membangun manusia seutuhnya. Pemerajan harus difungsikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, akan santapan rokhani sehari-hari. Misalnya sebelum
berangkat bekerja, lakukanlah pemujaan di pemerajan. Demikian pula siang hari
sebelum makan dan sore atau malam hari sebelum tidur. Kegiatan ini pasti dapat
menjernihkan rokhani kita.
B. Suatu pemikiran di masa depan.
Pada zaman dahulu jumlah penduduk
tidak sepadat sekarang. Rumah dan pemerajannya cukup mendapatkan tempat yang
luas. Dewasa ini dan masa-masa mendatang, perlu dipikirkan suatu bentuk sanggah
dan pemerajan agar dapat mengikuti zaman.
Di Bali dalam darsa warsa tujuh
puluh delapan, telah berkembangcara penempatan pemerajan dalam rumah bertingkat
dalam lantai teratas. Dengan sistem rumah bertingkat milik pribadi pembuatan
pemerajan masih dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam hal bertempat
tinggal atau pemukiman dewasa ini orang dihadapkan pada beberapa masalah. Misalnya ada keluarga
karena terbatasnya kemampuan ekonomi mereka terus-terusan mengontrak rumah.
Para pejabat sipil atau ABRI sering bertugas berpindah-pindah dari satu daerah
ke daerah lain. Di kota-kota besar pemukiman diatur dalam flat-flat berlantai
banyak. Dalam keadaan seperti itu, perlu dipikirkan di masa yang akan datang
suatu tempat pemerajan dalam tempat yang praktis agar mudah dipindah-pindahkan.
Dewasa ini memang masih sulit dibayangkan kalau kita masih tetap, berpegang
pada ketentuan bentuk, denah dan jajaran palinggih pemerajan seperti yang sudah
ada deasa ini. Dalam hal ini suatu hal yang tidak bisa kita robah prinsip
memuja leluhur yang telah suci (Sidha Dewata) dan Tuhan Yang Maha Esa beserta
dengan para dewa-dewa dengan segala manifestasinya. Soal bentuk palinggih
dengan tata perwujudannya, diareal rumah tempat tinggal keluarga masih dapat
dirumuskan lebih lanjut, mau tidak mau umat Hindu akan dihadapkan pada soal
itu. dalam hal ini dapat dipilih beberapa alternatif sebagai bahan pemikiran.
Pertama-tama tiap-tiap keluarga hendaknya punya ruangan suci khusus untuk
sembahyang.
Kamar
suci itu hendaknya diupacarai secara khusus sehingga rasa mantap akan dapat
ditumbuhkan dalam tempat tersebut. Untuk sarana persembahyangan dapat
diletakkan dulang sebagai tempat daksina, canang dan lain-lain untuk
sembahyang.
Alternatif kedua adalah tetap
menetapkan kamar suci dengan menempatkan pelangkiran sebagai penyawangan
bhatara hyang guru di kemulan dan dewa-dewa lainnya manifestasi Tuhan Yang Maha
Esa.
Alternatif yang ketiga adalah
membuat palinggih penyawangan seperti berbentuk padma capah yang kecil dapat
diletakkan di kamar suci dengan suatu penyucian yang khusus. Alternatif ke
empat membuat bentuk-bentuk palinggih dalam ukuran kecil yang terletak dalam
suatu kamar suci. Kalau hal ini dipilih tentunya kamar yang disediakan harus
lebih luas. Wujud dan tata letaknya dalam suatu kamar tertutup itupun perlu
diseminarkan dan ditetapkan oleh lembaga tinggi umat Hindu PHDI, yang pentuing
tetap dapat memenuhi kebuthan spiritual kita dengan mengadakan pemujaan leluhur
yang suci dan Tuhan Yang Maha Esa. Mewujudkan pemikiran yang harus benar-benar
mendapat tuntunan Parisada Hindu Dharma Indonesia.
PUSTAKA YANG DIPERGUNAKAN
1.
Adri,
Drs. Ida Ayu Putu : Pedagingan Pura di Bali, 1968.
2.
Linus,
Drs I Ketut : Sedikit Tentang Hubungan Konsepsional Antara
Candi di Jawa dengan Pura di Bali, 1974.
3.
_______________
: Catur Yadnya, Milik Pemda Tj I Bali.
4.
_______________
: Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Thp Aspek-Aspek Agama
Hindu I. S.d. XIV, Penerbit PGA, Hindu Negeri Denpasar 1988.
5.
Purwita,
Drs I Putu : Pengertian Pedharmaan di Bali, 1988.
6.
Mantra,
Prof. DR. I.B. : Bhagawad Gita 1967.
7.
Pudja,
MA. SH. Gede : Suatu Pengantar Dalam Ilmu Weda.
8.
Pudja,
MA. SH. Dan Tjok : Manawa Dharma Sastra, 1976 ? 1977.
Rai
Sudartha. MA
9.
Punyatmadja,
Drs I. B. Oka : Panca Sradha, 1970.
10. Team Peneliti Sejarah : Laporan
Penelitian Pura Sad Kahyangan, Pura IHD. Denpasar. 1980.
11. Wiana, Dkk. Drs I Kt : Acara
III, 1985.
12. Mas Putra, Ny. IGA. : Upacara
Manusia Yadnya.
B.
Salinan Lontar.
1. Lontar Andha Bhuwana
2. Lontar Siwagama.
3. Lontar Dewa tattwa.
4. Lontar Gong Wesi.
5. Lontar Purwa Bhumi Kemulan.
6. Lontar Usana Dewa.
7. Lontar Siwa Tattwa Purana.
8. Lontar Ligya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar